Pertama kali berjumpa, aku yakin sekali kita akan berteman. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa orang yang sekilas tak banyak bicara ini akan menjadi teman terbaikku dalam mengarungi berbagai 'petualangan'.
Waktu mengizinkan kita untuk kemudian memahami bahwa kita teramat berbeda. Aku yang begitu senang berada di sekeliling banyak orang dan menjadi pusat perhatian ternyata begitu nyaman berada di sampingmu; kamu yang cenderung lebih senang berkutat dengan buku harianmu, dengan berbagai buku yang kau tata rapi di dalam kamarmu. Aku yang begitu spontan ini entah mengapa bisa berkali-kali merusak jadwal belajarmu, mengacak-acak jadwal mengerjakan tugasmu hanya karena aku tiba-tiba terpikir untuk pergi ke suatu tempat bersamamu. Aku yang lebih banyak menggunakan logika ini ternyata malah terhibur dengan turbulensi perasaanmu yang juga mendidikku untuk lebih peka dalam memahami perasaan orang lain. Ah, betapa indah Ia menciptakan perbedaan.
Aku begitu terbiasa dengan kehadiranmu di sampingku, karena kita terbiasa bermain-main bersama. Hujan-hujanan hingga basah kuyup, berguling-guling hingga sekujur tubuh kita lusuh dengan peluh. Aku begitu terbiasa dengan hadirmu yang melengkapi apa yang tak kupunya: kemampuanmu menghadapi orang lain dan menjaga hubungan baik dengan mereka, kemampuanmu untuk menjaga konsistensi dalam apa yang telah disepakati, juga kemampuanmu untuk merencanakan dan membuat keacakanku menjadi lebih rapi.
Waktu pula yang akhirnya menghadapkan kita dengan berbagai pilihan. Kini kita mulai berada di persimpangan jalan. Kau tahu sejak lama jalan yang ingin kau pilih. Aku pun memahaminya, walau seringkali aku menolak untuk menerimanya. Ya, aku terlalu terbiasa bersamamu; menertawakan hal-hal yang sepele hingga terbahak, berdiskusi denganmu walau seringkali aku yang memaksakan pendapat.
Belum juga kita jauh melangkah rasanya ada yang berbeda. Tiga bulan lagi mungkin aku akan rindu, padamu amarahmu yang tiba-tiba memuncak, pada lakumu yang tak jarang jenaka, pada ulur tanganmu untukku yang memang seringkali merepotkan banyak orang. Mungkin aku juga akan rindu pada lantun usilmu bahwa kau ingin bersama seseorang sepertiku.
Aku tak tahu, apa akan ada seseorang yang dapat menggantikan peranmu, menjadi teman berbagi yang tak semua orang bisa kubagikan hal yang serupa. Ada terlalu banyak hal yang hanya kita saja yang tahu. Entahlah. Aku hanya ingin menitipkan doa pada langit, agar hatimu tak disesakkan oleh rindu, agar senyummu selalu terkembang karena kita telah memilih jalan yang terbaik.
Ah. Belum juga kau pergi, aku sudah rindu.
Atika Almira,
yang teramat yakin bahwa kau tahu ini untukmu.
affordable housing
Potensi dan Tantangan Pengembangan Industri Konstruksi Prefabrikasi di Indonesia dalam penyediaan Rumah Tinggal Terjangkau
12:22 AMAbstrak
Penyediaan
perumahan dan permukiman yang layak di Indonesia belumlah sesuai dengan
kebutuhan. Saat ini dibutuhkan lebih dari 15 juta unit rumah tinggal untuk
emmenuhi kebutuhan rakyat Indonesia. Pembangunan rumah tinggal dengan
menggunakan metode prefabrikasi menjadi salah satu alternatifsolusi untuk
menyediakan rumah tinggal yang lebih terjangkau. Teknologi prefabrikasi
memiliki potensi besar untuk membuat pembangunan lebih efisien baik dari segi
waktu dan biaya serta dengan kualitas yang tetap terjaga. Di samping itu
potensinya untuk menjaga keberlanjutan lingkungan juga amat baik. Untuk dapat
mengoptimalkan prefabrikasi tentunya ada tantangan-tantangan yang harus
diselesaikan terlebih dahulu. Tantangan tersebut adalah menghasilkan desain
yang matang dan sesuai dengan standar, menghasilkan gubahan ruang dan bentuk
yang tetap estetis meskipun menggunakan komponen modular, mempercepat
pembangunan infastruktur yang berkualitas untuk menunjang transportasi komponen
bangunan, menunjang aksesibilitas terhadap teknologi prefabrikasi hingga ke
pelosok Indonesia, serta memasarkan rumah tinggal yang bersifat modular ke
pasar. Penyelesaian tantangan ini tentunya membutuhkan usaha keras dari
berbagai pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, akademisi, maupun pihak
swasta.
Kata kunci: rumah tinggal, industri
konstruksi, prefabrikasi
Pendahuluan
Penyediaan perumahan dan permukiman yang
layak di Indonesia belumlah sesuai dengan kebutuhan. Saat ini dibutuhkan lebih
dari 15 juta unit rumah tinggal untuk emmenuhi kebutuhan rakyat Indonesia.
Penyediaan rumah tinggal selama ini sulit ditekan biayanya karena dikerjakan
secara manual dan customized. Hal ini menyebabkan biaya konstruksi menjadi
mahal. Kompetensi tukang dan teknologi yang digunakan juga membuat proses
konstruksi menjadi lebih lama sehingga pembiayaannya menjadi tidak efisien. Menurut
Siswono Yudohusodo dalam bukunya Rumah Untuk Seluruh Rakyat (1991) salah
satu sarana pendukung yang ikut menentukan sukses tidaknya program
pembangunan perumahan rakyat adalah produksi bahan bangunan dan distribusinya,
harga, jumlah dan mutunya, serta penguasaan teknologi pembangunan
perumahan oleh masyarakat.. Apabila penyediaan rumah tinggal mulai menggunakan komponen
bangunan prefabrikasi, maka permasalahan ini pun bisa diselesaikan tentunya
dengan diikuti oleh pengembangan industri konstruksi prefabrikasi itu sendiri.
Dengan mengoptimalkan peluang sembari menyelesaikan tantangan yang ada,
pengembangan industri konstruksi prefabrikasi di Indonesia dapat menjadi salah
satu solusi dalam menyediakan rumah tinggal yang terjangkau bagi masyarakat.
Menurut Arief Rahman
dalam Struktur-Konstruksi menjelaskan “Prefabrication (prefabrikasi) adalah industrialisasi metode konstruksi di mana
komponen-komponennya diproduksi secara missal dirakit (assemble) dalam bangunan
dengan bantuan crane dan alat-alat pengangkat dan penanganan yang lain”. Pada
dasarnya yang membedakan adalah proses pembuatan dari komponen-komponen
bangunan di mana pada konstruksi yang menggunakan material prefabrikasi
sebagian pembuatan komponennya dilakukan di luar site dengan modul-modul hasil
fabrikasi industri sehingga kebanyakan proses konstruksi yang dilakukan secara
in situ hanyalah proses perakitan komponen-komponen tersebut saja. Proses
konstruksi kemudian hanya perlu dilanjutkan dengan melengkapi utilitas dan
pengerjaan akhir (finishing). Dengan demikian, beberapa manfaat seperti waktu
konstruksi yang cepat, lingkungan pembangunan yang lebih bersih, dan biaya yang
lebih murah dapat diwujudkan
Industri konstruksi prefabrikasi saat ini
masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara lain, utamanya negara maju
seperti sepang. Walau demikian, sistem prefabrikasi di Indonesia sebenarnya
sudah digunakan sejak jaman pendudukan Belanda. Sistem ini pernah dipakai pada
beberapa rumah di daerah Jl. Gempol – Bandung dan merupakan contoh metode
konstruksi dinding pracetak dengan menggunakan bambu plaster (Widyowijatnoko,
1999). Pada perkembangannya sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mengembangkan rumah prefabrikasi di Indonesia, antara lain yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian Pengembangan Pemukiman yaitu RISHA (Rumah Instan Sederhana
Sehat) dan Smart Modula yang dikembangkan oleh Akademi Teknik Mesin Industri
Surakarta. Sampai dengan hari ini, implementasi pada konstruksi rumah tinggal
dalam jumlah massal masih terhitung minim. Namun, peluang pengembangannya di
masa depan cukup menjanjikan untuk menyelesaikan masalah penyediaan rumah
tinggal yang terjangkau.
Tantangan Pengembangan
Industri Konstruksi Prefabrikasi untuk Rumah Tinggal
Tantangan terbesar
dalam mengembangkan industri konstruksi prefabrikasi, bagi arsitek, adalah
lemahnya penguasaan standar yang dimiliki rata-rata arsitek dalam proses desain
di Indonesia. Tidak umum menggunakan standar, pada akhirnya arsitek sering
membuat kesalahan-kesalahan kecil yang dapat mengganggu proses konstruksi
secara keseluruhan. Masalah itu muncul terkadang karena perbedaan ukuran
menyebabkan desain tidak dapat mengintegrasikan subsistem-subsitem dalam
bangunan, misalnya sistem elektrikal dan sistem struktur. Dengan menggunakan
konstruksi prefabrikasi, desain harus sudah selesai secara menyeluruh sebelum
proses pembuatan komponen di pabrik dimulai. Haurs dipastikan desain tersebut
telah memenuhi standar yang disepakati oleh tenaga ahli dari berbagai bidang. Selain
itu dibutuhkan pula koordinasi yang baik antara setiap tenaga ahli sehingga
tidak ada kesalahan yang muncul dari setiap subsistem yang terdapat di dalam
rumah tinggal. Terlebih, seluruh keputusan desain harus bisa diambil di awal
untuk memperkecil risiko menghentikan proyek di tengah proses konstruksi
ataupun menunda pekerjaan. Harus kita ingat pula bahwa kebanyakan arsitek di
Indonesia tidak familiar dengan proses konstruksi prefabrikasi, oleh karena itu
dibutuhkan waktu lebih untuk mempelajari hal ini.
Tantangan lain yang
dihadapi adalah baaimana arsitek tetap dapat menghasilkan bentuk yang memenuhi
kaidah estetika dan tetap menarik dengan menggunakan komponen-komponen yang
bersifat modular. Dengan menggunakan komponen prefabrikasi, bentuk-bentuk yang
dapat dihasilkan saat ini menjadi cenderung terbatas. Inilah tantangan yang
harus dijawab oleh arsitek: menghasilkan bentuk yang menarik dan estetik dengan
bentuk yang lebih sederhana dan modular. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila
arsitek di Indonesia memiliki keinginan yang kuat untuk mengeksplorasi desain
sehingga hasil yang terwujud tetap optimal dengan segala keterbatasan yang ada.
Proses pengangkutan
atau trasportasi komponen bangunan adalah tantangan lain yang harus dihadapi
Indonesia dalam mengembangkan industri konstruksi prefabrikasi. Infrastruktur
di Indonesia dapat dikatakan belum ideal, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Di kota-kota besar kita dapat melihat infrastruktur yang telah
tersedia hampir ke setiap sudut. Namun, kesenjangan amat terasa ketika kita
berada di luar pulau Jawa atau bahkan di pedalaman. Infrastruktur di sana belum
dibangun sehingga tentunya transportasi komponen prefabrikasi ini tida
memungkinkan. Bahkan di kota-kota besar sendiri kita dapat melihat
infrastruktur di Indonesia yang kualitasnya belum baik; misalnya saja jalan
raya yang kerap berlubang. Tantangan ke depan adalah bagaimana Indonesia dapat
mempercepat pembangunan infrastruktur baik dari segi kuantitas maupun kualitas
dengan memperhatikan persebarannya di seluruh penjuru negeri. Di samping itu, arsitek
harus ikut memikirkan proses pengiriman komponen bangunan menuju site. Proses
pengiriman komponen ini haruslah dibenturkan dengan kondisi riil infrastruktur
di Indonesia. Pada akhirnya arsitek dapat menghasilkan desain yang tidak hanya
indah namun juga feasible untuk diwujudkan.
Indonesia harus
mulai melakukan pembangunan secara merata dan dengan demikian teknologi
prefabrikasi ini harus dapat dijangkau hingga ke pelosok negeri. Inilah
tantangan berikutnya. Kita harus bisa melakukan percepatan transfer teknologi
bahkan ke Indonesia bagian timur, karena pembangunan hari ini masih terpusat di
Indonesia bagian barat. Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah membangun
industri konstruksi prefabrikasi tidak hanya di Pulau Jawa saja melainkan juga
di pulau-pulau lainnya. Dengan cara inilah teknologi prefabrikasi akan lebih
bisa dijangkau dan kita juga akan menghemat biaya transportasi komponen
bangunan.
Tantangan lainnya
datang dari aspek pasar adalah pasar industri konstruksi di Indonesia dapat
dikatakan masih baru lahir dan belum benar-benar berkembang. Demand yang datang
dari masyarakat belum cukup tinggi terkait rumah dengan teknologi ini. Untuk
pengembangannya di masa depan, dibutuhkan pula terbentuknya persepsi publik
yang lebih baik mengenai rumah yang menggunakan komponen prefabrikasi. Beberapa
langkah yang dapat dilakukan adalah membuat muka
bangunan yang tampak serupa dengan rumah-rumah yang dibangun secara manual,
menekan harga rumah tinggal hingga tintik termurah, mengasosiasikan rumah
tinggal dengan arsitek atau pengembang yang telah memiliki nama besar, serta
dengan menggaet media untuk melakukan liputan positif mengenai rumah tinggal
prefabrikasi. Pemerintah ataupun pengembang sebagai pihak yang akan melakukan
pembangunan juga harus memikirkan aspek pemasaran bangunan dengan teknologi ini
secara tepat sasaran sehingga pada akhirnya pengembangan teknologi dapat
diikuti dengan pengembangan pasar secara optimal pula.
Potensi Pengembangan
Industri Konstruksi Prefabrikasi untuk Rumah Tinggal
Di balik tantangan
yang dihadapi, industri konstruksi prefabrikasi memiliki potensi yang amat
besar dalam menyelesaikan masalah ini. Potensi yang pertama adalah metode ini
dapat menghemat waktu konstruksi. Konstruksi yang bersifat modular memungkinkan
berbagai pekerjaan dilakukan secara parallel. Dengan demikian jadwal
pembangunan dapat dipadatkan dan proses pembangunan itu sendiri menjadi lebih
efisien. Tidaklah salah jika ada yang berpendapat bahwa untuk desain
yang bersifat modular memang dibutuhkan waktu yang lebih panjang karena
dibutuhkan koordinasi secara lebih intensif. Terkadang proses perizinan juga
membutuhkan waktu yang lebih lama karena pemerintah sendiri belum cukup
familiar dengan konstruksi prefabrikasi. Akan tetapi, sebuah studi di McGraw-Hill menemukan bahwa dalam 66% dari proyek
konstruksi modular dan prefabrikasi dapat mempengaruhi jadwal secara
positif dengan penghematan waktu 4
minggu atau lebih. Penghematan waktu dicapai melalui proses pembuatan
komponen yang dilakukan secara bersamaan di pabrik maupun di tapak serta
sedikitnya penundaan pekerjaan akibat cuaca. Dengan penghematan waktu yang
dilakukan, maka hal ini akan mempengaruhi biaya konstruksi dan membuat harga
rumah tinggal menjadi lebih terjangkau pula.
Potensi lainnya dari
metode prefabrikasi ini adalah bahwa konstruksi modular menyebabkan terjadinya
penurunan anggaran. Kebanyakan biaya ini turun akibat hilangnya kebutuhan
barang-barang sekunder, jadwal konstruksi yang lebih pendek, pengurangan upah
tenaga kerja yang mahal, limbah yang lebih sedikit, serta kontrol kualitas yang
meningkat sehingga meminimalisasi kesalahan. Menurut Jeff Brink, insinyur struktur di DCI, jadwal konstruksi singkat adalah
kesempatan terbesar untuk menekan biaya dalam sebuah
proyek konstruksi modular. Mengurangi waktu untuk beberapa pengeluaran yang besar
di tapak, seperti
crane dan kerekan, akan mengurangi anggaran proyek
secara keseluruhan. (Pickerell, 2012).
Sederhananya, waktu adalah uang.
Dengan menggunakan metode prefabrikasi, akan terjadi pengurangan sebesar 30 %
pada biaya proyek, 35% pada rentang waktu pengerjaan proyek, serta 60% defects
dalam penyelesaian proyek. Di samping itu, dengan prefabrikasi kita
dapat mengurangi biata yang dikeluarkan untuk membayar ipah tukang-tukang yang
mahal karena pekerjaan yang dilakukan di lapangan menjadi lebih sederhana.
Proses konstruksi yang rumit telah sebelumnya dilakukan di pabrik dengan
menggunakan mesin. Jumlah tukang yang dibutuhkan pun menjadi lebih sedikit. Hal
ini menyebabkan biaya untuk SDM lebih bisa ditekan. Dari aspek material, biaya
yang dikeluarkan pun menjadi lebih pasti karena tidak akan ada material yang
tersisa sebab seluruh material telah diproses di pabrik dengan standar-standar
tertentu. Biaya yang turun secara signifikan tentunya menjadi potensi besar
yang dapat dimanfaatkan untuk menyediakan rumah tinggal yang terjangkau.
Permasalahan lain
dalam penyediaan rumah tinggal yang terjangkau adalah memastikan kualitas yang
baik. Inilah potensi besar yang dimiliki oleh industri konstruksi prefabrikasi:
perbaikan dan pengembangan kualitas produk. Dengan menggunakan prefabrikasi,
kemungkinan terjadinya kesalahan menjadi berkurang. Hal ini bisa terjadi karena
seluruh pengambilan keputusan dan proses desain telah dipastikan sebelum proses
produksi dimulai sehingga tingkat kontrol kualitas menjadi lebih tinggi.
Kualitas dari proyek itu sendiri pada umumnya meningkat karena terjadinya
produktivitas pekerja dan juga optimasi keelamatan kerja. Dengan metode
prefabrikasi, kita dapat mewujudkan lingkungan kerja yang lebih sehat pula. Di
samping itu, dengan menggunakan prefabrikasi, kualitas bangunan menjadi lebih
terjamin, utamanya secara akustik, tingkat kebocoran, infiltrasi dan isolasi
udara, serta kekuatan struktur.
Potensi lain yang
membuat industri konstruksi prefabrikasi ini layak dikembangkan adalah perannya
dalam keberlanjutan lingkungan. Tabel di bawah ini menampilkan bagaimana
konstruksi prefabrikasi dapat mendukung keberlanjutan lingkungan dari berbagai
aspek. Hal ini ditunjukkan dari penghematan energy yang terjadi dalam setiap
proses pembangunan. Contohnya saja energy yang harus dihabiskan untuk mengolah
limbah dan melakukan pemasangan komponen bangunan yang jauh lebih efisien. Di
samping itu, dengan menggunakan prefabrikasi, energi yang dihabiskan untuk
operasional jauh lebih sedikit. Walaupun membutuhkan energy lebih dari aspek
transportasi, secara keseluruhan pembangunan dengan prefabrikasi dinilai lebih
berkelanjutan.
Kesimpulan
Penyediaan rumah
tinggal yang terjangkau adalah isu yang amat penting di Indonesia. Pembangunan
rumah tinggal dengan menggunakan metode prefabrikasi menjadi salah satu alternatifsolusi
untuk menyediakan rumah tinggal yang lebih terjangkau. Teknologi prefabrikasi
memiliki potensi besar untuk membuat pembangunan lebih efisien baik dari segi
waktu dan biaya serta dengan kualitas yang tetap terjaga. Di samping itu
potensinya untuk menjaga keberlanjutan lingkungan juga amat baik. Untuk dapat
mengoptimalkan prefabrikasi tentunya ada tantangan-tantangan yang harus
diselesaikan terlebih dahulu. Tantangan tersebut adalah menghasilkan desain
yang matang dan sesuai dengan standar, menghasilkan gubahan ruang dan bentuk
yang tetap estetis meskipun menggunakan komponen modular, mempercepat
pembangunan infastruktur yang berkualitas untuk menunjang transportasi komponen
bangunan, menunjang aksesibilitas terhadap teknologi prefabrikasi hingga ke
pelosok Indonesia, serta memasarkan rumah tinggal yang bersifat modular ke
pasar.
Penyelesaian
tantangan ini tentunya membutuhkan usaha keras dari berbagai pemangku
kepentingan, baik itu pemerintah, akademisi, maupun pihak swasta. Percepatan
transfer eknologi dari lingkungan akademisi ke sektor swasta yang didukung
regulasi pemerintah tentunya akan sangat membantu dalam menyediakan rumah
tinggal yang terjangkau dengan teknologi prefabrikasi.
Referensi
Azari, Rahman, et al. 2013. Modular Prefabricated Residential Construction: Constraints and
Opportunities. Washington D.C.: University of Washington, Skanska
Innovation Grant
Bernstein,
Harvey M. et al. 2011. Prefabrication
and Modularization: Increasing Productivity in the Construction Industry.
Bedford: McGraw Hill Construction.
Bergdoll,
Barry dan Peter Christensen. 2008. Home Delivery: Fabricating the Modern
Dwelling. New York: The Museum of Modern Art.
Cowles,
Ethan, et al. 2013. Prefabrication and Modularization in
Construction.
FMI Corporation
Davies,
Colin. 2005. The Prefabricated Home. Trowbridge, Wiltshire: Cromwell
Press.
Panudju,
Bambang. 1999. Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta Masyarakat
Berpenghasilan Rendah, Penerbit Alumni, Bandung.
Phillipson,
Mark. 2001. DTI Construction Industry Directorate Project Report. BRE Scotland
Yudohusodo,
Siswono dkk. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat, Inkoppol, Jakarta.
Setahun
ke belakang, banyak yang bertanya: ke mana kah mahasiswa? Banyak yang
menganggap hari ini mahasiswa tak lagi bertaji. Kebanyakan dari mereka terjerat
oleh setumpuk SKS, tertimpa beban UKT, tertelan budaya hedonisme dan
konsumerisme, terasingkan dari identitas dan peran mereka yang sesungguhnya. Gerakan
mahasiswa tak lagi dinilai membela kepentingan rakyat Indonesia, tapi menjadi
sebuah panggung mahasiswa dengan label event
organizer.
Menyalahkan
teknologi memang tak bijak, tapi berbagai kemudaan hari ini ternyata
menghasilkan manusia jenis baru: keyboard
warrior. Perkembangan teknologi membuat orang sudah merasa terlibat dalam
realita padahal ia hanya menghadirkan hal tersebut dalam dunia maya. Hal ini
terjadi ketika kita menonton berita mengenai jatuhnya pesawat AirAsia dan kita
menyebarkan bela sungkawa melalui media jejaring sosial. Saat itu dengan
bermodalkan keyboard kita merasa sudah ikut berkontribusi dalam menyelesaikan
masalah. Namun sesungguhnya kita tidak sedang mengubah realita apa pun.
Aktivisme
hari ini pun mulai bergeser. Kita mulai mengenal istilah click activism. Maksudnya adalah ketika tindakan yang terjadi di
dunia maya menjadi sebuah gerakan yang terasa amat bernilai. Seperti halnya
ketika kita sudah merasa berjasa saat memencet tombol ‘Like’ di Facebook
mengenai suatu isu. Sama halnya seperti perasaan berjasa saat kita menekan
tombol ‘Retweet’ ketika ada berita banjir di suatu daerah. Dengan bermodalkan
sebuah klik, jadilah kamu seorang aktivis.
Generasi
kita yang sudah terjangkiti click
activism dan menjadi keyboard warrior
ini pada akhirnya menjadi semakin jauh dari realita. Padahal sungguh tidaklah
sama mereka yang memandang matahari dari layar kaca dengan mereka yang berpeluh
di bawah terik matahari. Sungguh tidaklah sama mereka yang bercerita tentang
lumpur dengan mereka yang bermandi lumpur. Sungguh tidaklah sama mereka yang
duduk diam dengan mereka yang berjuang dengan seluruh jiwa raga, atau bahkan
mungkin hartanya.
Kemudian kita terjebak dalam kegelisahan semu karena kita tak lagi terjun
langsung ke masyarakat. Mahasiswa berkata bahwa mereka membela rakyat padahal
rakyat tidak merasa demikian. Pada akhirnya gerakan mahasiswa tak lagi punya
nilai. Reasoning yang lemah menghasilkan positioning yang lemah pula.
Lebih parahnya lagi,
kita gagal mendefinisikan dua hal: siapa kita dan apa peran kita?
Berkaca
pada Sejarah
Mengenang
romantisme masa lalu memanglah manis. Membaca sejarah gerakan mahasiswa akan
menghadirkan suasana heroik yang seringkali memunculkan keinginan untuk kembali
mewujudkannya. Reformasi di tahun 1998 agaknya selalu menjadi imaji yang
membayangi gerakan hari ini. Kita terjebak dalam pola itu, yang bisa jadi masih
efektif, namun optimasinya belum dapat dibuktikan dalam gerakan mahasiswa
dewasa ini. Sampai saat ini kita belum lagi mampu untuk bisa memobilisasi massa
hingga mencapai angka puluhan ribu.
Pada
dasarnya apa yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah bahwa pemuda, apalagi
mahasiswa akan selalu punya bargaining
position. Masyarakat pada umumnya masih percaya bahwa mahasiswa tidak punya
kepentingan terselubung dan pemerintah pun memahami hal ini.
People power
adalah kunci yang lain. Bagaimana dulu mahasiswa mampu memobilisasi orang dalam
jumlah yang besar dan menunjukkan bahwa rakyat telah memiliki satu suara adalah
poin penting lainnya yang bisa kita pelajari. Kita tak bisa mentah-mentah
menerjemahkan bahwa hari ini kita harus melakukan dengan pola gerakan yang
sama. Pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memastikan bahwa
kita berhasil menginsepsi banyak orang untuk memiliki kesadaran yang sama.
Jaringan
yang baik juga menjadi modal gerakan yang baik. Kita harus menyadari bahwa
mahasiswa bukanlah satu-satunya elemen yang ada di dalam masyarakat. Oleh
karena itu kemampuan untuk berjejaring dengan berbagai elemen menjadi poin yang
penting.
Saya
meyakini bahwa tidak ada yang harus berubah dari nilai yang kita pegang. Dari
dulu hingga sekarang kita memang harus senantiasa membela kepentingan rakyat.
Dari dulu hingga sekarang advokasi kebijakan publik, apapun metodenya, akan
selalu menjadi tanggung jawab mahasiswa. Dari dulu hingga sekarang,menjadi insan
akademis adalah tuntuntan bagi seorang mahasiswa.
Namun
kita tak bisa menutup mata bahwa hari ini kita dikelilingi oleh lingkungan yang
berbeda dari kakak-kakak kita; mereka yang merasakan pahitnya dikekang orde
baru. Diri kita sendiri pun adalah generasi yang tak mengerti beratnya
perjuangan untuk mencapai reformasi. Mahasiswa hari ini tidak bisa menghargai
demokrasi karena kita adalah generasi democracy-native,
sebagaimana sebagian besar dari kita dilahirkan sebagai generasi digital-native. Kita dikelilingi oleh
generasi yang bersikap take it for
granted untuk semua hal. Kita dikepung oleh kelas menengah, orang-orang
yang tidak akan tergerak sebelum kepentingan pribadinya terusik. Dan bisa jadi
kita adalah salah seorang di antara mereka.
Maka,
memahami kembali ke mana kita menuju serta menghitung ulang modal yang kita
miliki adalah sebuah langkah awal yang harus kita tempuh. Tentunya amatlah
dangkal apabila mahasiswa hari ini hanya memandang ke dalam dirinya sendiri.
Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan hanya bisa dihasilkan jika ada gaya
yang cukup besar. Gaya ini hanya bisa dihasilkan apabila kita mampu memusatkan
massa dalam jumlah yang besar dan juga akselerasi yang juga signifikan. Sebab
itulah aktivis hari ini tidak bisa mengekslusifkan dirinya tanpa berpikir
bagaimana caranya memarketisasi gerakan tanpa kehilangan core value dari gerakan tersebut. Aktivis hari ini harus paham
bagaimana caranya memanfaatkan karakteristik generasi-Z agar kita mampu
menghasilkan gerakan yang tetap ideologis, signifikan, dan orisinil.
Kita
juga tak bisa naïf dengan mengharapkan bahwa hanya dalam 3 hitungan Indonesia
lantas menjadi negara yang benar-benar makmur, adil, dan sejahtera. Apa yang
kita perjuangkan mungkin baru bisa terwujud beberapa tahun atau bahkan puluhan
tahun mendatang. Oleh karena itu konsistensi dalam gerakan adalah poin yang
penting, termasuk konsistensi kita untuk bisa mendidik generasi berikutnya
untuk memperjuangkan hal yang sama.
Terakhir,
untukmu. Iya, kamu. Mereka yang tak bergerak akan tergerus oleh pergerakan
arus. Pilihannya hanya ada 2: bergerak atau tergantikan. Selamat memilih,
karena sejarah tak pernah mencatat mereka yang hanya duduk diam dan tak
berbuat.
Referensi:
Sekolah Pergerakan BSLF Pertemuan 1
Bincang Malam Sedap Malam
Tujuh hari terakhir waktu saya banyak dihabiskan oleh pembahasan ini: undangan dari Presiden RI untuk mahasiswa pada tanggal 18 Mei dan aksi nasional BEM SI pada tanggal 21 Mei.
17 Mei Rapat pimpinan KM-ITB membahas respon atas undangan ke Istana untuk berdialog secara langsung dengan Presiden Jokowi
18 Mei (Hampir saja rapim bersamaan dengan) Kunjungan Kabinet KM-ITB ke undangan Presiden
19 Mei Rapat pimpinan KM-ITB terkait aksi nasional BEM SI tanggal 21 Mei
20 Mei Persiapan aksi
21 Mei Berangkat aksi
Sebelum melanjutkan, ada baiknya teman-teman membaca terlebih dulu sebuah tulsian yang menarik. Salah seorang teman saya, Upi, sudah menuliskan apa yang kami jalani beberapa hari terakhir dengan cukup lengkap. Ini tautan tulisannya: http://muhammadluthfij.tumblr.com/post/119680228592/delapan-puluh-dua-aksi
17 Mei KM-ITB memutuskan untuk menerima undangan dari Presiden Jokowi untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan dengan dugaan baik: bahwa undangan tersebut adalah undangan tertutup.
18 Mei Presiden KM-ITB menerima undangan Presiden dan menyampaikan tuntutan-tuntutan. Tidak sesuai dengan dugaan baik massa KM-ITB, acara 'makan malam' bersama RI-1 hari itu dihadiri banyak media. Mungkin undangannya memang tertutup. Tapi acaranya sendiri bersifat terbuka karena setiap momen diabadikan dan disampaikan kepada publik. Beberapa tuntutan direspon secara langsung: dihapusnya pembatasan masa kuliah maksimal 5 tahun dan kasus HAM yang menimpa mahasiswa Trisakti di tahun 1998. Mahasiswa sepertinya memiliki dugaan baik, bahwa tuntutan itu memang akan ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah. Walaupun demikian, karena tuntutan BEM SI untuk berdialog secara terbuka dengan rakyat Indonesia tidak direspon, pada akhirnya aksi nasional tetap dipersiapkan.
19 Mei Rapat pimpinan di internal KM-ITB berjalan cukup alot: antara aksi dan tidak, antara ikut BEM SI atau hanya di bawah nama KM-ITB. Pada dasarnya saya meyakini bahwa konten (energi) yang dimiliki ITB harus tetap diperjuangkan sehingga pilihannya adalah aksi bersama BEM SI atau dengan nama KM-ITB; apapun bentuknya. Walaupun di IMA-G sendiri kami berdebat cukup panjang tentang bentuk ideal sebuah aksi mahasiswa. Pada akhirnya disepakatilah bahwa KM-ITB tetap turun aksi bersama BEM SI agar bisa konsisten menyampaikan hasil kajian energi, bersikap bersama mahasiswa lainnya dalam satu suara.
21 Mei adalah pertama kalinya ITB melancarkan aksi dalam jumlah di atas 60 orang dalam beberapa tahun terakhir; tanpa massa TPB. Hari itu pula pertama kalinya saya melihat mahasiswa turun ke jalan dalam jumlah yang banyak. Lagi-lagi mungkin mahasiswa masih menyimpan dugaan baik, bahwa aksi hari itu membuahkan hasil: Presiden Jokowi mau berdialog secara terbuka dengan rakyat Indonesia dan secara langsung merespon tuntutan-tuntutan. Namun ternyata Presiden Jokowi tidak berada di tempat. Sehingga mahasiswa (diwakili 50 PresBEM) hanya bisa berdialog dengan Mensesneg Pratikno dan Kepala Staf Kepresdidenan Luhut Panjaitan.
Hari itu bisa jadi mahasiswa terlalu larut dalam euforia. Banyak orasi yang rasanya amat jauh dari tuntutan yang diajukan oleh BEM SI --walaupun saya akhirnya paham betapa sulit mengontrol diri untuk berbicara dengan tepat sasaran ketika memegang mic di hadapan 2000 lebih massa aksi. Tidak sedikit yang menyerang Jokowi secara personal. Bukan mengkritik kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Padahal tuntutan yang disampaikan jelas: 1. Kejelasan/transparansi anggaran terkait harga BBM 2. Kedaulatan energi dengan mengambil alih Blok Mahakan dan Freeport.
Sekali lagi saya nyatakan, hari itu bisa jadi mahasiswa terlalu larut dalam euforia. Ketika pada akhirnya pemerintah yang diwakili Luhut Panjaitan menyatakan bahwa Jokowi akan melakukan dialog terbuka yang ditayangkan di seluruh channel TV pada tanggal 25 Mei, mahasiswa entah kenapa merasa puas dan lagi-lagi percaya dengan itikad baik tersebut. Bahkan sore itu Luhut Panjaitan dipersilakan dengan terhormat untuk naik ke mobil sound dan melantangkan 'Hidup Mahasiswa!'. Sore itu, saya terus menerus tidak lepas dari prasangka.
***
prasangka/pra·sang·ka/ n pendapat (anggapan) yg kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri; syak: sebenarnya semuanya itu hanya berdasarkan -- , bukan kebenaran;
Seminggu ini, saya belajar banyak mengenai prasangka.
Kita terlalu sibuk memedulikan apa yang terjadi, namun seringkali kita lupa mengapa. Kita terlalu sering menilai dan menentukan sikap hanya bermodalkan pengetahuan kita tentang kulit, bukan tentang bijinya.
Untuk yang satu ini, saya rasa kita harus berhenti berprasangka. Jangan sampai kita menilai sebuah gerakan berhenti pada metodenya saja tanpa menilai latar belakangnya. Jika kita merasa apa yang diperjuangkan benar, bagi saya adalah sebuah keharusan untuk ikut memperjuangkannya. Apabila metodenya kurang tepat, jadi tanggung jawab kita pulalah untuk memperbaikinya. Tidak layaklah kita untuk sekadar menghakimi dan kemudian nyinyir di belakang. Maka sudah menjadi tanggung jawab setiap anggota KM-ITB untuk mencari tahu lebih banyak. Dan setiap pimpinan lembaga di KM-ITB pun memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan setiap isu bukan hanya untuk menjawab pertanyaan 'apa' dan 'bagaimana' tetapi juga 'mengapa'.
Saya pun belajar dari apa yang terjadi di tanggal 18, 21, dan bahkan kemarin, bahwa untuk menghadapi pemerintah Indonesia hari ini, saya tidak boleh lepas dari prasangka.
“Kami tadi sudah diskusi dengan teman-temanmu perwakilan BEM Mahasiswa di dalam, saya kira diskusi berjalan baik, alot, dan menurut saya teman-teman kalian itu punya pemikiran yang matang dan perlu diantisipasi,… maksud saya diapresiasi. Saya ingin mengatakan bahwa Presiden tadi sudah dikomunikasikan dengan bapak mensesneg akan bertemu dengan perwakilan mahasiswa nanti hasi senin (25/5), yang kedua kita atur lagi pertemuan nanti antara perwakilan mahasiswa dengan pemerintah yang diwakili beberapa staff presiden untuk mengkomunikasikan program-program yang kalian konsen bahwa itu tidak berpihak kepada rakyat banyak.” Luhut Panjaitan, 21 Mei 2015
Sabtu malam, 23 Mei 2015 tepat pukul 22.47, Staff Kepresidenan menghubungi Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia terkait pembatalan yang mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak bisa menemui BEM SI hari senin mendatang. Informasi pembatalan ini juga diterima oleh rekan-rekan BEM SI di Universitas Gajah Mada (UGM) dari Teten Masduki (Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi) melalui pesan whatsapp yang berbunyi,
“Info dari Pak Pratikno, menurut Pak Luhut barusan: Senin jadwal Presiden tidak memungkinkan menerima mahasiswa. So, mahasiswa akan diterima di waktu lain.”
Selengkapnya ada di sini: http://bem-indonesia.com/lagi-lagi-pihak-istana-jokowi-berbohong/
Menurut saya, menyatakan #JokowiBohong adalah sebuah kebohongan karena yang berbohong adalah Luhut Panjaitan :p Mungkin kita saja yang terlalu polos dan tak mengenal pemerintah kita saat ini. Mungkin memang kita yang salah: kita lupa berprasangka.
***
Aksi dan seluruh rangkaian momen di satu minggu ke belakang pun menyisakan sejumlah tanya: apakah mahasiswa memang tak lagi memiliki bargaining position? Lantas seperti apakah bentuk gerakan mahasiswa yang ideal hari ini?
Hari ini kita masih kebingungan: apakah kita harus turun ke jalan? Seberapa efektifkah pengabdian masyarakat yang kita lakukan? Apakah kita memiliki comparative advantage dibandingkan dengan elemen lain di masyarakat? Apakah kita memiliki competitive advantage? Jika iya, seperti apa?
Kita belum bisa menjawab nilai lebih apa yang dimiliki mahasiswa dalam menyusun pergerakan. Hari ini kita masih kehilangan jati diri. Memang pada akhirnya ini tentang metode. Tapi ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab bersama agar kita tak lagi sibuk berdebat mana yang benar dan salah hanya tentang kulitnya saja. Agar pada akhirnya kita bisa sepakat bergerak bersama untuk Indonesia.
Semoga lekas ada jawabnya.
***
Sepertinya saya harus menanggung dosa karena tidak konsisten dalam menulis. Sayang sekali momen syukwis Maret, kunjungan pertama ke Kampung Pulosari, Pemira KM-ITB, kadwil, berbagai rangkaian forum inisiasi dan sosialisasi; semuanya terlewat begitu saja tanpa sebuah proses kontemplasi. Semoga tulisan ini menjadi titik balik, agar ke depan tak ada lagi momen yang tak dihayati :)
Catatan ini aku tulis untukmu, massa Gunadharma, terutama untuk teman-teman 2012 tersayang dan adik-adik 2013.
Beberapa hari terakhir suasana di IMA-G rasanya melesu. Sekretariat himpunan sepi. Wajah-wajah IMA-G juga begitu, terlihat lelah dan terkuras energinya. Aku pun mengakui, kehidupan akademik di akhir semester ini begitu luar biasa sampai sebagian dari kita mulai kehilangan harapan. Status-status facebook yang berupaya memotivasi diri mulai banyak bermunculan. Gelombang pesimisme mulai beresonansi di berbagai sudut, menyambar satu per satu mahasiswa arsitektur.
Tapi, apakah kita akan diam dan berlarut-larut dalam kondisi ini?
Hidup adalah pilihan, dan kita selalu bisa memilih: mundur atau terus berjuang. Memang begitu mudah mencari 1000 alasan untuk menghindar dan begitu sulit menemukan 1 alasan untuk berbuat kebaikan. Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa kita tidak perlu lagi mencari-cari alasan itu, kawan. Bukankah kita ada di sini bukan tanpa tujuan? Bukankah kita telah bersepakat bahwa kita akan memperjuangkan satu tujuan yang sama?
Sulit, memang. Kita pun pernah tidak berhasil, tidak optimal. Kita juga pernah merasakan jatuh.
“Oh yes the past can hurt. But you can either run from it, or learn from it” – Rafiki dalam Lion King
Jadi, pilih yang mana?
Saat ini IMA-G memang sudah seharusnya kita yang memegang, kawan.
Kita memang perlu berkorban untuk mempertahankan dan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan IMA-G. Namun ada lebih banyak hal yang harus dikorbankan apabila kita menyia-nyiakan bangunan yang telah kokoh berdiri lebih dari 60 tahun.
Saat ini kita boleh saja merasa kita belum mampu. Saat ini kita boleh saja berujar kita belum pantas. Jika memang itu yang kita rasakan, maka solusinya sederhana: sama-sama belajar. Everyone was first an amateur. Semua orang pernah belum bisa dan belum tahu. Dan kita semua juga bisa berjuang untuk menjadi bisa dan pantas.
Sore ini aku masih percaya, kawan.
Kita memang harus bersama untuk melewati bukit yang terjal, walau mungkin itu berarti kita harus melangkah lebih lambat. Namun, kebersamaan itu juga ternyata memiliki syarat: kemauan untuk berbagi. Bagilah seluruh potensi yang kita punya. Bagilah semangat dan optimisme yang kita punya. Tanpa memberi, kita akan terus menuntut untuk menerima. Pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan apa-apa.
Aku pun masih percaya bahwa sejatinya setiap dari kita peduli, setiap dari kita punya potensi. Kita hanya terlalu sering berprasangka buruk terhadap satu sama lain, juga terhadap diri sendiri: bahwa yang lain tidak peduli, bahwa yang lain tidak menghargai, bahwa kita tidak dicari, bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa, bahwa apapun yang kita lakukan tidak akan berpengaruh. Kita hanya terlalu sering berbagi pesimisme tanpa dibalas berbagi mimpi indah dan harapan.
Kali ini, izinkan aku berandai-andai, kawan.
Jika kita mau memandang jauh, sebagai pemuda calon pemimpin di masa depan, bisa jadi kondisi seperti ini akan kita hadapi kelak. Bisa jadi salah satu dari kita menjadi CEO sebuah BUMN, bisa jadi salah satu teman kita adalah arsitek dari sebuah proyek besar yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, atau bukan tidak mungkin salah satu dari kita menjadi pemimpin negeri ini.
Coba bayangkan, ketika ada di posisi itu kita harus mempertaruhkan keutuhan bangsa, mempertaruhkan kesejahteraan rakyat Indonesia, lalu kemudian kita menyerah begitu saja. Maka bukan tidak mungkin Indonesia hanya tinggal nama; kekayaan alam, SDM, dan budayanya tak akan berarti apa-apa. Kemudian sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang gagal.
Itukah yang kita inginkah, kawan?
Aku rasa tidak demikian. Maka dari itu, ayo semangat lagi :) Bangsa ini menanti kita, yang bergerak bersama untuk memberi manfaat sebesar-besarnya.
Hari ini adalah awal yang baru, bagiku, bagimu, bagi kita semua. Mulai hari ini, masa depan kita, kitalah yang menentukan. Yuk, berhenti berprasangka. Tak ada salahnya mengutuk kegelapan, tapi akan jauh lebih baik jika kita juga menyalakan cahaya: bergerak bersama menyinari Indonesia :)
Terakhir, aku hanya berharap kita memendam mimpi yang sama. Hari ini, mimpiku sederhana. Sesederhana kembalinya semangat dan senyuman yang bisa kulihat di foto ini. Aku percaya, kebersamaan bukan hanya membuat semua menjadi lebih mudah, tetapi juga lebih menyenangkan.
Photo credit: Aloysius Rio
Jika kamu pun percaya, bagilah semangat itu: tuliskan “I believe we can do it :)” pada kolom komentar di bawah. Since I do believe that we can do it!
Vivat vivat G! IMA-G tetap jaya!
Jatinangor, 7 Desember 2014
Atika Almira
Anggota Biasa Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma
7 Maret 2015
Hari ini, satu hari setelah muker (yang sebenarnya gagal disebut muker) divisi ekstrakampus mulai menjalankan proker (yang lagi-lagi gagal disebut proker) Architectour. Ini adalah program yang baru ada di tahun 2015, yaitu jalan-jalan dalam konteks arsitektur. Sebenarnya program semacam ini sudah ada di tahun-tahun sebelumnya. Namun kami mencoba mengemas agar kegiatan semacam ini dapat dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak massa-G. (Thanks to Raja, Mbsu, dan tim ekstrakampus!)
Destinasi kali ini adalah kantor biro arsitektur RAW milik salah seorang kakak kami di G angkatan 2000, yaitu Realrich Sjarief, yang dahulu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal di IMA-G. Kami amat beruntung dapat belajar langsung dari arsitek yang pernah bekerja dengan peraih Pritzker Prize, Norman Foster. Beruntungnya lagi, kakak yang satu ini amat pemurah karena mau menyambut kami yang berjumlah nyaris 50 dengan jamuan yang istimewa, baik dari segi ilmu maupun akomodasi. Terima kasih banyak, Kak Rich :)
***
Selain menjalin silaturahmi, kami memang berniat banyak belajar dari Kak Rich. Kami sengaja request materi mengenai arsitektur dalam konteks urban dengan tujuan kami bisa menerapkannya dalam gerakan IMA-G satu tahun ke depan.
Kak Rich banyak memberikan wawasan baru, khususnya mengenai Urban Design. Ternyata kita bisa mengupas Urban Desain dari 3 aspek.
Ketiganya asing dan tak mudah kami pahami karena merupakan vocabularies yang jarang kami gunakan di dalam perkuliahan. Namun dari sini kami mendpatkan sudut pandang baru untuk mengupas permasalahan urban, khususnya di Kota Bandung. Layaknya manusia, saya rasa kita bisa mengupas permasalahan kota dari sudut pandang mind, body, and soul. Diskursus pun meluas ke aspek arsitektur, landscape design, infrastruktur, kepadatan penduduk, dan juga beberapa karya Kak Rich yang amat menarik.
Satu hal yang paling menggugah bagi saya adalah sebuah pertanyaan yang dilontarkan Kak Rich.
Satu-dua orang menanggapi dengan anggukan.
“Tadinya saya ingin membuat lantai 2 itu void hingga ke atas. Tapi karena langit-langitnya sudah tinggi rasanya hal tersebut menjadi tidak esensial,” ujar Kak Rich menjelaskan rumah barunya yang masih dalam proses konstruksi. Akhirnya hanya bagian tangga yang ia buat void.
Ia pun menjelaskan bahwa ketika suatu komponen dalam desain diletakkan begitu saja dan kehilangan esensinya, itulah yang disebut gimmick. Desain hanyalah menjadi kosmetik belaka yang tak punya nilai filosofis. Makna dari desain itu sendiri kemudian akan hilang dengan sendirinya.
Di akhir proses desain, seringkali mahasiswa arsitektur mencomot judul-judul yang ear-catching dengan tujuan mengelabui dosen. Kita berusaha mengemas agar desain kita terkesan memiliki konsep yang dalam dan heroik. Pada kenyataannya itu hanya kemasan, metode jualan kepada dosen untuk menutupi proses berpikir yang asal-asalan.
Dalam berkemahasiswaan, tanpa disadari mungkin kita telah menerapkan hal yang sama. Jujur saya amat tertohok dengan pernyataan Kak Hilman bahwa visi ‘IMA-G Bergerak Bersama untuk Indonesia’ belum benar-benar tecermin dari program-program yang kami tawarkan. Entah kami yang belum mampu menularkan semangatnya, atau semangat itu belum benar-benar merasuk ke dalam jiwa kami. Sungguh, saya tak pernah berharap visi ini hanya menajdi gimmick belaka, bahan jualan yang kosong tanpa isi.
***
Hari ini menjadi sebuah akhir minggu yang amat memuaskan. Jika boleh memakai judul di atas, maka saya merasa bahwa kebersamaan dan kekeluargaan yang ada di hari ini jauh dari kata gimmick. Ia bukan kemasan belaka. Saya jadi yakin dengan apa yang pernah diucapkan Umar bin Khattab r.a.,
Jika bermalam sudah pernah kami lakukan, senang rasanya hari ini bisa mengenal adik-adik saya lebih dekat lewat sebuah perjalanan. Semoga senyum, tawa, canda yang ada di hari ini bisa terus melengkapi perjalanan kita di G selama satu tahun (atau tepatnya beberapa bulan) ke depan. Semoga kata kekeluargaan bukan menjadi judul saja, tetapi menjadi nilai yang melengkapi semangat kita untuk senantiasa menebar manfaat bagi bangsa ini.
Sampai jumpa di Architectour berikutnya!
Hari ini, satu hari setelah muker (yang sebenarnya gagal disebut muker) divisi ekstrakampus mulai menjalankan proker (yang lagi-lagi gagal disebut proker) Architectour. Ini adalah program yang baru ada di tahun 2015, yaitu jalan-jalan dalam konteks arsitektur. Sebenarnya program semacam ini sudah ada di tahun-tahun sebelumnya. Namun kami mencoba mengemas agar kegiatan semacam ini dapat dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak massa-G. (Thanks to Raja, Mbsu, dan tim ekstrakampus!)
Destinasi kali ini adalah kantor biro arsitektur RAW milik salah seorang kakak kami di G angkatan 2000, yaitu Realrich Sjarief, yang dahulu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal di IMA-G. Kami amat beruntung dapat belajar langsung dari arsitek yang pernah bekerja dengan peraih Pritzker Prize, Norman Foster. Beruntungnya lagi, kakak yang satu ini amat pemurah karena mau menyambut kami yang berjumlah nyaris 50 dengan jamuan yang istimewa, baik dari segi ilmu maupun akomodasi. Terima kasih banyak, Kak Rich :)
***
Selain menjalin silaturahmi, kami memang berniat banyak belajar dari Kak Rich. Kami sengaja request materi mengenai arsitektur dalam konteks urban dengan tujuan kami bisa menerapkannya dalam gerakan IMA-G satu tahun ke depan.
Kak Rich banyak memberikan wawasan baru, khususnya mengenai Urban Design. Ternyata kita bisa mengupas Urban Desain dari 3 aspek.
Ketiganya asing dan tak mudah kami pahami karena merupakan vocabularies yang jarang kami gunakan di dalam perkuliahan. Namun dari sini kami mendpatkan sudut pandang baru untuk mengupas permasalahan urban, khususnya di Kota Bandung. Layaknya manusia, saya rasa kita bisa mengupas permasalahan kota dari sudut pandang mind, body, and soul. Diskursus pun meluas ke aspek arsitektur, landscape design, infrastruktur, kepadatan penduduk, dan juga beberapa karya Kak Rich yang amat menarik.
Satu hal yang paling menggugah bagi saya adalah sebuah pertanyaan yang dilontarkan Kak Rich.
“Kalian tahu gimmick?” tanya beliau.
Satu-dua orang menanggapi dengan anggukan.
“Tadinya saya ingin membuat lantai 2 itu void hingga ke atas. Tapi karena langit-langitnya sudah tinggi rasanya hal tersebut menjadi tidak esensial,” ujar Kak Rich menjelaskan rumah barunya yang masih dalam proses konstruksi. Akhirnya hanya bagian tangga yang ia buat void.
Ia pun menjelaskan bahwa ketika suatu komponen dalam desain diletakkan begitu saja dan kehilangan esensinya, itulah yang disebut gimmick. Desain hanyalah menjadi kosmetik belaka yang tak punya nilai filosofis. Makna dari desain itu sendiri kemudian akan hilang dengan sendirinya.
gim-mick \’gi-mik\
: a method or trick thatis used to get people’s attention or to sell something
Di akhir proses desain, seringkali mahasiswa arsitektur mencomot judul-judul yang ear-catching dengan tujuan mengelabui dosen. Kita berusaha mengemas agar desain kita terkesan memiliki konsep yang dalam dan heroik. Pada kenyataannya itu hanya kemasan, metode jualan kepada dosen untuk menutupi proses berpikir yang asal-asalan.
Dalam berkemahasiswaan, tanpa disadari mungkin kita telah menerapkan hal yang sama. Jujur saya amat tertohok dengan pernyataan Kak Hilman bahwa visi ‘IMA-G Bergerak Bersama untuk Indonesia’ belum benar-benar tecermin dari program-program yang kami tawarkan. Entah kami yang belum mampu menularkan semangatnya, atau semangat itu belum benar-benar merasuk ke dalam jiwa kami. Sungguh, saya tak pernah berharap visi ini hanya menajdi gimmick belaka, bahan jualan yang kosong tanpa isi.
Tetap semangat ya mz & mb BP, pun juga massa-G :) Kita memang harus terus belajar untuk mengenal bangsa ini secara utuh. Pada akhirnya proses pembelajaran itulah yang akan memupuk gelisah dan mendorong kita untuk terus bergerak. Teruntuk mz&mb BP, sampai jumpa di rapat berikutnya untuk mengupas Indonesia lebih dalam. Yuhuuu~
***
Hari ini menjadi sebuah akhir minggu yang amat memuaskan. Jika boleh memakai judul di atas, maka saya merasa bahwa kebersamaan dan kekeluargaan yang ada di hari ini jauh dari kata gimmick. Ia bukan kemasan belaka. Saya jadi yakin dengan apa yang pernah diucapkan Umar bin Khattab r.a.,
Jangan engkau merasa bahwa engkau telah mengenal saudaramu dengan baik, jika engkau belum pernah melakukan safar/perjalanan bersama saudaramu tersebut, atau sebelum engkau pernah bermalam bersama saudaramu
Jika bermalam sudah pernah kami lakukan, senang rasanya hari ini bisa mengenal adik-adik saya lebih dekat lewat sebuah perjalanan. Semoga senyum, tawa, canda yang ada di hari ini bisa terus melengkapi perjalanan kita di G selama satu tahun (atau tepatnya beberapa bulan) ke depan. Semoga kata kekeluargaan bukan menjadi judul saja, tetapi menjadi nilai yang melengkapi semangat kita untuk senantiasa menebar manfaat bagi bangsa ini.
Sampai jumpa di Architectour berikutnya!