KEDELAI 2013

11:40 AM

Seminggu ini saya merasa gerah. Sebab pertama adalah karena naiknya harga kedelai. Saya juga bingung dengan naiknya harga BBM yang membuat ongkos angkot menjadi mahal dan secara tidak langsung mengurangi daya beli saya dan juga mungkin masyarakat pada umumnya. Selain itu, saya gelisah dengan nilai tukar rupiah yang semakin tidak ada harganya. Bahkan hari ini satu dollar Amerika setara untuk ditukar dengan 11.200 Rupiah (Kompas, 6 Agustus 2013); cukup untuk dua kali makan saya.

Saya banyak misah-misuh kepada teman-teman tentang naiknya harga kedelai –isu yang membuat para produsen tahu dan tempe tercekik sehingga harus mengorbankan para pekerjanya, ini salah satu contoh dampak yang terjadi di pabrik tahu daerah Dago Atas. Banyak opini-opini yang berkembang. Bisa jadi saya termakan media karena saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya kesal mengetahui fakta bahwa kedelai sudah pernah mengalami ‘masa naik daun’ seperti ini di kancah internasional yang menyebabkan permintaan naik dan harga jadi melambung tinggi.

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008 – 2012. Saya buat dalam bentuk grafik garis.

Ternyata kedelai yang lebih dari setengahnya diolah menjadi tempe dan tahu yang menduduki posisi pertama dalam “Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan (Lauk pauk) di Indonesia, 2008-2012” berdasarkan survei sosial ekonomi nasional. Namun permintaan yang tinggi ini ternyata tidak dibarengi produksi yang tinggi pula. Itu sebabnya kedelai kita masih impor sebesar 60%. Menurut pakar pertanian, Dr Widjang Herry Sisworo APU, di Indonesia kedelai memang tidak ditanam sebagai tanaman utama, melainkan hanya sampingan dari tanaman padi. Selain itu, kedelai memang tergolong sulit ditanam di negara tropis yang hangat dan lembap sehingga hama mudah menjangkiti tanaman. Hambatan lainnya adalah tingkat keasaman tanah yang tinggi terutama di Pulau Jawa dan Sumatera sehingga menghambat ‘pekerjaan’ bakteri Rhizobium yang menjadi sobat tanaman kedelai. (ANTARAnews.com)

Dengan segala hambatan ini, saya merasa pemerintah selama ini cenderung mengambil langkah pragmatis. Ketika pasar menyihir kedelai menjadi semahal ini, mengimpor kedelai masih tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Seperti masalah BBM saja, ketika APBN kita jebol maka diputuskanlah subsidi harus ditekan. Tetapi ternyata dampak berkepanjangan dari kenaikan harga BBM ini belum ditanggulangi secara matang. Ketika saya berpapasan dengan Aditya Firman Ihsan (Fisika 2012), ia mengatakan bahwa naiknya harga kedelai ini juga menjadi dampak dari kenaikan BBM, termasuk pula di dalamnya masalah pada kurs rupiah –kenyataannya logika saya belum nyambung untuk bisa mencerna ini.

Padahal tentunya membangun ketahanan pangan bangsa ini memerlukan strong political will dari para pemimpinnya untuk menyelesaikan masalah dari akarnya. Membangun penelitian rekayasa pertanian, memastikan hasil penelitian tersosialisasikan dengan baik, menjamin kesejahteraan petani, memastikan petani memiliki akses perbankan yang terjamin, menjaga agar harga barang pangan tidak sepenuhnya bergantung pada pasar; ada banyak langkah yang harus dilakukan dari segi politis agar Indonesia mampu melaksanakan swasembada kedelai.

Diskusi dengan Luthfi Muhamad Iqbal (Planologi 2012) membuat kami menarik kesimpulan: mumpung tanah di ITB masih banyak yang kosong bisa jadi akan lebih produktif kalau kita tanami kedelai. Seperti yang pernah digagas Ridwan Kamil, mungkin sudah saatnya ITB berkebun.

Saya memang tidak mengerti ekonomi. Saya juga tidak punya gagasan terkait masalah pertanian. Tetapi yang saya tahu negara punya kewajiban untuk mensejahterakan masyarakatnya. Jika tempe yang dulu saja digunakan sebagai kosa kata untuk menghina sudah menjadi barang mewah, apalagi yang bisa dijadikan lauk utama yang dikonsumsi masyarakat?

Pertanyaannya, lalu kita sebagai mahasiswa bisa apa? Mungkin di antara teman-teman masih ada yang bisa menjawab pertanyaan ini. Kemudian saya bertanya-tanya kembali: saya sebagai mahasiswa arsitektur bisa apa? Sialnya, saya mati kutu.

***
Bagian ini tidak terkait kedelai
Di tengah semua kegerahan ini, juga kegamangan karena saya sudah rindu rumah, saya mencoba melakukan 'eksperimen sosial'. Ketika ada pengamen yang menghampiri saya dan kemudian bernyanyi, tiba-tiba saya terdorong untuk memberinya uang. Saya merocoh dompet dan mencari koin-koin dan pada akhirnya terkumpul 1000 rupiah. Namun selembar uang berwarna ungu menarik perhatian saya. Saya penasaran apa reaksi Bapak pengamen itu ketika saya beri lembaran di tangan kanan saya itu. Lagu pun selesai dan saya mengulurkan tangan saya.

Saya mendapati bola mata beliau membesar dan kelopaknya terangkat ke atas sedikit. Ia menoleh pada kawannya sang kenek angkot dan menarik mulutnya 2 cm ke kanan dan kiri seraya memperlihatkan gigi. Angkot melaju dan siang ini saya melihat seulas senyum tulus menatap saya. Saya tersenyum, bahkan sampai nyaris pagi lagi, energi kebaikan itu belum habis. Ya, bahagia itu sederhana :)

You Might Also Like

0 comments

ayo komen disini :)

Popular Posts