Apa Benar Negeri Ini Sudah Tidak Punya Harapan?

3:27 PM


Menyedihkan. Sudah nyaris 1 bulan sejak kampanye pilpres bergulir dan telah sampailah kita di taraf negative campaign dan black campaign yang mengenaskan. Saling serang, saling tuduh, saling fitnah; itulah yang terjadi. Bahkan pada akhirnya kita lupa bahwa momen ini seharusnya menjadi momen yang membangkitkan asa dan harapan, membangun visi yang lebih kokoh tentang masa depan bangsa. Namun gagasan-gagasan segar, mimpi indah tentang Indonesia seketika runtuh karena waktu kita habis untuk saling menjelek-jelekkan. Apa benar negeri ini memang sudah tidak punya harapan?
Stop negative campaign and black campaign. Bagaimana pun juga salah satu dari mereka akan menjadi pemimpin kita.”
Beberapa kali saya membaca tulisan tersebut di beranda media sosial. Namun ternyata pesan sederhana itu tak cukup untuk membuat khalayak menggubris. Hingga detik ini isu tentang pelanggaran HAM, surat keputusan DKP, kasus bus TransJakarta, ataupun penghapusan kolom agama lebih ramai diperbincangkan; bahkan lebih dari gagasan yang dibawa oleh para calon pemimpin bangsa. Kita sibuk melontar kritik, hingga lupa bahwa setiap manusia pasti punya lebih dan kurang.

Akhirnya kita bisa memahami, bahwa pemimpin memang menjadi cerminan orang-orang yang dipimpinnya. Saat ini kita melihat para elit yang berjibaku bukan lagi dalam ranah gagasan. Mereka sibuk membuka luka-luka lama dengan dalih menolak lupa. Nyeri, itu yang kita dapat; karena luka-luka itu terus dikoyak tanpa pernah disebut apa obatnya, bagaimana cara mengobatinya.

Tulisan Bapak Nasihin Masha “Kita Butuh Negarawan Baru” di kolom Republika kemarin (Jumar, 20 Juni 2014) membuat saya tergugah.
“Kita jadi teringat pada konstatasi Bung Hatta. Ketika pintu gerbang dibuka, ternyata yang muncul adalah orang-orang kerdil. Dan orang-orang besar ikut larut dalam arus orang-orang kerdil itu. Mereka pun hanya kerdil belaka. Menyedihkan.

Itulah yang sedang terjadi saat ini. Para peneliti, cendekiawan, akademisi, wartawan kehilangan pijakan. Mereka terjebak pada keharusan mendukung atau tak bisa lepas dari preferensi. Mereka berubah menjadi aktivis dan pegiat, bahkan politisi.

Bukankah kita menyaksikan bahwa para juru bicara terdepan di sekitar kandidat bukan lagi para politisi? Saat ini para politisi sedang tertawa menyaksikan orang-orang yang selama ini mengecamnya tak ubahnya politisi juga. Para cerdik pandai selalu memiliki alasan untuk membenarkan diri.”
Rupaya kita perlu berhenti dan merenung sejenak. Jangan-jangan kitalah yang membuat negeri ini tak lagi punya harapan. Jangan-jangan kitalah orang-orang yang menebar benci dan dendam. Bisa jadi ternyata kita yang meruntuhkan bangunan visi masa depan bangsa ini dengan kata yang tak perlu. Bisa jadi kita, sang pandai cerdik yang senantiasa membenarkan salah yang diperbuat diri sendiri.

Tentu kita sepakat, bahwa perubahan bisa kita mulai dari diri kita sendiri, mulai dari sekarang. Saya masih yakin bahwa Indonesia punya potensi besar. Saya masih yakin Indonesia masih punya harapan. Berhentilah menghujat, mulailah berbagi mimpi karena bangsa ini masih punya jalan panjang.

Saya percaya :)

You Might Also Like

0 comments

ayo komen disini :)

Popular Posts