/ˈmiː.diˌəʊ.kə/
11:08 AM
Me-di-o-cre
Of
moderate or low quality, value, ability, or performance; ordinary, so-so
“Saya tidak ingin menjadi yang mediocre.”
Itu yang
terlintas di benak saya selama lebih dari 90 menit berdiskusi dengan dosen wali
di dalam kelas yang berisi belasan mahasiswa. Percaya atau tidak, beberapa
momen membuat mata saya berkaca-kaca. Entah bagaimana saya begitu menghayati
kalimat demi kalimat yang Pak Furqon, dosen wali saya, cetuskan. Bisa jadi
memang beliau cukup cakap berkata-kata; terpengaruh istrinya yang ahli sastra
itu mungkin. Alternatif kedua, waktu dan apa yang saya alami memang begitu
sesuai dengan topik pembahasan kami: penjurusan.
Menjadi
arsitek
Saya rasa
hampir semua kenalan saya tahu, betapa ingin saya menjadi seorang arsitek. Entah apa alasannya menjadi seorang arsitek
telah menjadi mimpi yang terpupuk sejak kecil. Atau mungkin saja karena sudah
terlanjur tercetus bahwa cita-cita saya adalah menjadi arsitek kemudian saya
enggan menengok kepada hal lain untuk dipikirkan sebagai akternatif tujuan.
Saya belajar menggambar, juga mencerna berbagai jenis buku agar mindset saya terlatih bahwa saya memang
dilahirkan untuk menjadi seorang arsitek
Tapi
semakin ke sini, saya merasa memaksakan diri. Saya menikmati seni dan juga
arsitektur sebagai mahakarya seni. Tapi saya selalu ragu bahwa saya memiliki
kemampuan itu, kemampuan spasial dan imajinasi yang cukup untuk bisa mencipta.
Terkadang saya menggambar dengan setengah hati, sebatas memenuhi kewajiban
untuk berlatih. Nyawa dalam hasil karya saya pun rasanya nyaris tidak ada.
Bolos sesi-sesi les gambar dengan berdalih sibuk, padahal malas. Saya tidak
tahu apa alasannya, selama ini saya
selalu ragu. Ternyata saya hanya cukup bisa menggambar, menyaru karya orang
lain; mentok sampai di situ saja. Sialnya, yang saya inginkan bukan menjadi
seorang drafter. Mungkin itu sebabnya
saya tidak pernah punya tujuan hidup yang jelas; mencla-mencle tidak tahu ingin
jadi apa.
Membaca diri
Saya sadar
betul bahwa kemampuan spasial saya bukan satu hal yang paling menonjol. Begitu
pula dengan kemampuan artistik saya. Mungkin saya bisa menggambar, tapi biasa
saja. Mungkin saya cukup kreatif, tapi toh banyak yang lebih kreatif.
Akhir-akhir
ini, saya menyadari bahwa saya tidak akan tahan “dikurung”. Saya senang “terjun”,
dekat dengan berbagai kalangan. Saya yang mudah bosan cenderung sering
berpindah-pindah habitat. Mencari kawanan baru, alam-alam baru untuk dijelajahi.
Saya selalu senang dengan interaksi, walaupun memang terkadang saya canggung
karena tidak cukup bisa menjadi orang yang luwes. Tapi di situlah justru
kesenangannya, menantang diri sendiri untuk bisa keluar dari zona nyaman.
Bertemu orang baru, mencari kisah-kisah baru.
Saya juga
seharusnya sadar, yang menonjol dari saya adalah analisis konstruktif dan
kemampuan matematis aplikatif-teoritis. (Itu hasil psikotes dan sedikit banyak
saya menyetujuinya) Suatu kemampuan yang katanya akan kurang bisa tersalurkan
jika saya memilih apa yang awalnya saya inginkan. Awalnya saya santai-santai
saja, tapi kata-kata seorang guru saya membuat saya tertampar. “Cara mensyukuri
ilmu salah satunya adalah dengan mengamalkannya. Kalau tidak, Allah akan
langsung mencabut itu dari diri kita.” Saya merasa berdosa jika saya
menyia-nyiakannya.
Dan, hey,
materi pertama TekPres membuat saya iseng bertanya-tanya, “Mungkinkah ini
menjadi alasan kenapa saya harus ikut lomba statistik, membuat web tentang statistik
(www.belajarstatistika.co.nr)?”
Karena bidang ini sedikit banyak membutuhkan kemampuan untuk mengolah data-data
itu.
Saya juga
baru sadar. Dengan orang tua yang hobi beli buku (bukan baca buku), saya
menjadi terfasilitasi untuk menaruh minat pada banyak hal. “Ma, kakak pengen
deh bisa kuliah macem-macem. Pengen tahu semuanya kalau emang bisa,” saya
berkelakar kepada Mama.
Nekat Bertanya
"Bapak
kan sudah puluhan tahun menjadi dosen, kira-kira menurut pandangan bapak
karakter seperti apa yang cocok dengan bidang PWK?" iseng, saya mengajukan
pertanyaan itu kepada Pak Furqon.
Sayangnya
saya tidak sempat memencet tombol [record]
"….kemampuan berkomunikasi, kalau tidak suka dengan itu ya akan sulit… minat untuk belajar multidisiplin, karena PWK itu luas sekali lingkupnya…"
Itu salah dua poin yang saya
ingat. Namun intinya ada di sini:
“Bibit yang bagus tidak akan tumbuh dengan maksimal jika tidak tumbuh di tempat yang tepat. Kalian harus mencari habitat yang tepat untuk diri kalian sendiri. Jika tidak, ya kalian akan menjadi yang mediocre saja.”
DEG.
Saya ingat Mama. Betapa saya
ingin sejak dulu menjadi arsitek, yang mungkin telah menjadi mimpimu juga ya?
Iyakah? Betapa mudah saya melepas mimpi itu perlahan. Dan betapa jengah ketika
engkau dengan bangga menjawab anakmu ini kelak akan menjadi arsitek. Bahkan
saya sendiri tak mampu meyakini itu. Saya merasa bersalah.
Mengubah pilihan
“Aku sebenernya gak mau kerja. Kemampuan desainnya buat di rumah aja.” Sepolos itulah saya J Karena ternyata saya ingin berbuat lebih, saya juga ingin berkarya. "Pengen yang masih ada matematiknya, tapi punya seninya juga."
Akan tetapi...
“Gue juga
belum tentu ngambil arsi nih.”
Sontak
semua teman saya, yang masih mengunyah bebek menengok heran. Sekuat itu image telah terbentuk karena saya telah
sejak lama berkoar-koar ingin menjadi arsitek.
“Pa, mau beli buku ini ya,” sambil
menunjuk-nunjuk buku arsitektur saya memohon.
“Yakin emangnya mau jadi
arsitek?”
“Iya.”
Dan sejak itu Papa membelikan
buku-buku sejenis bahkan ketika tanpa diminta.
Saya
ingin menjadi arsitek, memiliki rumah mewah yang tidak mahal.-
Atika Almira, kelas 5 SD.
“Kakak belajar apa aja tadi?” “Nih
Mama beliin kuas.” “Nanti rumah kakak mau kayak gimana kak?” - Mama, yang semangatnya mendorong tidak pernah padam.
Saya frustrasi. 7 tahun lebih saya memendam cita-cita.
Mencari
benang merah
Saya, belum sanggup untuk memilih saat ini. Ternyata mengubah pilihan
pun tidak semudah itu. Saya hanya berharap saya punya alasan yang murni “untuk
mencari jalan terbaik”. Saya harap saya tidak mencari pembenaran untuk segala ketakutan
saya.
Masih ada waktu untuk memutuskan. Semoga Allah SWT
menunjukkan jalan-Nya untuk saya. Semoga itu tidak butuh waktu yang lama. Sudah
saatnya saya bergerak :) Ah, ya. Buat yang punya kritik saran pesan kesan, kali
ini benar-benar saya tunggu.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ahli statistika, media planner. Pa, bukan salah siapapun
jika anakmu ini sedikit banyak terpengaruhi. Izinkan ya Pa, Ma, jika memang
kelak harus benar-benar mengubah pilihan untuk akhirnya menjadi seorang regional and city planner.
Sial, saya benar-benar menangis.
Bandung,
9
Februari 2013
3 comments
Salam.
ReplyDeleteI know that feel kayaknya tik, hehe..
Semoga kelak menjatuhkan pilihan yang terbaik ya, aamiin. Dulu juga saya sempat bingung pilih jurusan, padahal sebelumnya yakin ke kimia. Akhirnya dengan pertimbangan yang menurut saya pantas, dan saya rasa sudah seharusnya muslim memilih dengan skala prioritas, baik dari segi waktu kuliah maupun manfaat yang kelak bakal kita bagikan ke ummat, biar jadi pahala yg banyak pula, saya pilih jurusan Matematika.
Tetap semangat dengan karya-karya kamu, Tika :)
Jadi pengen komen hehe (nerusin yang di twitter).
ReplyDeleteIni persis banget sama gua di pertengahan semester kemaren, bedanya gua terlanjur berada di situ, dan gak mungkin beralih mengingat bagaimana keringat orangtua membiayai itu semua.
Kadang, suatu saat, gua merasa gua salah tempat. Setelah kuliah beberapa bulan gua merasa itu bukan yang dulu gua inginkan. Padahal ya emang itu yang gua inginkan. Cuma kayak, gua menghindar. Menghindar dari kenyataan gua tidak sebaik teman-teman gua di sana. Nilai gua gak bagus, pemahaman juga pas-pasan. Gua jadi suka mikir "Ah, harusnya dulu gua masuk desain".
Naif. Kalaupun gua masuk desain juga gua gak yakin gua bisa bertahan. Gua gak bisa gambar dan skill desain gua jg gak ada apa-apanya dibanding anak desain beneran. Akhirnya gua memutuskan untuk berhenti berpikir kalo gua salah tempat.
Dan gua menemukan secercah harapan(??). Di fasilkom gua tetep bisa menyalurkan hobi gua yang satu itu. Misalnya dg ikut kepanitiaan/organisasi yang menekuni bidang itu :3 dan gua juga jadi biasa aja dg nilai-nilai gua yang pas-pasan, orangtua bahkan bilang "kamu tuh kurang bersyukur"...padahal nilainya emg gak bagus...tapi Alhamdulillah. Gua justru termotivasi juga sih dg melihat kebrilianan(?) teman-teman.
Eh malah curhat .___. Intinya, jangan lari dari passionmu Tik :) You can be anything you like. Sebelum terlambat. Semoga dimantapkan hatinya ya Tik. Istikharah sama tahajud terus kalau masih belum mantap. Semangat~! :)
I've just posted something in athoughtpicked.blogspot.com regarding to dreams. Mind to visit? We can share through posts!
ReplyDeleteayo komen disini :)