#BicaraPendidikan: Karakter Anak Bangsa Gagal Dibentuk?

12:17 AM

Saya baru selesai membaca “Stop Menjadi Guru!” karya Asep Sapa’at. Judulnya cukup kontroversial bukan? Buku ini menarik. Membaca tulisan tentang dunia ‘guru dan pendidikan’ mengingatkan saya pada Mama dan masa-masa SMA saya. Buku ini membawa saya pada momen-momen yang membuat saya berujar, “Ah, iya memang dulu seperti itu!” …sampai, “Oh, begitu ya?” Walaupun terkadang saya merasa alur buku ini agak lambat, tapi ada semangat baru yang saya dapat setelah membacanya. Hasil akhirnya, saya ingin semua guru SMA saya membaca buku ini dengan menghayati. Do’a saya bagi mereka, semoga niat tulus selalu menyertai dalam perjalanan mulia sebagai seorang guru. Aamiin

Ada banyak hal yang menarik untuk dibahas. Mari kita ulas satu per satu. Mudah-mudahan saya cukup sabar untuk membuatnya menjadi seri #BicaraPendidikan :)

--------------------------------------------

“Apakah artinya berpikir,  bila terpisah dari masalah kehidupan.”
– Rendra, dalam “Sajak Sebatang Lisong” yang dideklamasikan di Bumi Ganesha 36 tahun silam.

Balada pengabdian masyarakat     
Banyak yang bilang, mahasiswa dewasa ini jauh dari masyarakat. Banyak juga yang bilang, mahasiswa sekarang belajar dengan keras hanya untuk IP tinggi, lulus cumlaude, diterima di perusahaan asing, dapat gaji besar, punya rumah gedongan, anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan terbaik dan mengulang siklus yang sama dengan apa yang dialami oleh orang tuanya. Salah seorang teman saya bilang, sulit mengajak teman terjun ke masyarakat. “Bosan,” ujar mereka.

Padahal pengabdian masyarakat bukan sekadar memberikan servis yang membuat pelakunya terkesan sebagai orang baik. Ia bukan sekadar pemenuhan kewajiban dari apa yang telah digariskan oleh Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pengabdian masyarakat seharusnya bukan sekadar tentang tangan-tangan yang berkerja dan mengulur pada yang membutuhkan, bukan sekadar kaki-kaki yang melangkah menuju daerah tak terjamah. Tapi ia juga tentang kepala yang cakap menangkap permasalahan, hati yang matanya terbuka, yang merasa perih melihat permasalahan yang ada; hati yang merasa gelisah dan tergerak untuk membawa perubahan.

Karakter dan pendidikan
Bung Hatta pernah berujar bahwa
seseorang boleh jadi jenius atau berbakat, tetapi tidak mempunyai karakter artinya sama dengan tidak mempunyai kemauan untuk membela bangsanya.
Karakter tidak diwariskan secara genetik. Ia tidak pula muncul dengan sendirinya seperti kepribadian. Karakter harus dibangun melalui sebuah proses dan sejatinya pendidikan adalah proses itu.

Mahasiswa adalah output dari jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya. Jika outputnya adalah seperti yang digambarkan pada bagian sebelum ini, bahwa semakin sedikit anak bangsa yang mau membela kepentingan rakyat, maka kita perlu bertanya: adakah yang salah dengan pendidikan di SD-SMP-SMA? Apakah pendidikan di jenjang sebelumnya tidak menanamkan karakter? Apakah memang yang dijejalkan pada kepala para siswa hanya rumus dan teori yang tidak kontekstual dan aplikatif?

Berkaca pada pendidikan matematika
Dalam sebuah diskusi dengan salah satu guru terbaik saya, R. Ridwan Hasan Saputra –saya terbiasa memanggilnya Pak Ridwan, kami menyoroti pendidikan matematika di negara ini. Kami membandingkan pendidikan matematika di Indonesia dengan Taiwan berdasarkan cerita salah satu kolega Pak RIdwan, Mr. Sun Wen-hsien.  Mr. Sun merupakan pelatih olimpiade matematika yang cukup tersohor di kancah internasional.

Di Indonesia, penekanan pendidikan matematika ada pada pemahaman teori dan penggunaan rumus-rumus secara langsung –sekalipun kurikulum berkata tidak, saya menolak karena fakta di lapangan bicara demikian. Sementara di Taiwan, dan juga bahkan di Vietnam, titik berat pendidikan matematika ada di pengembangan nalar siswa. Soal-soal ujian matematika yang diberikan berbasis problem solving, dengan selalu mengangkat cerita-cerita yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan kalkulator dalam pembelajaran diperbolehkan, karena yang diutamakan bukan kemampuan mencacah, tetapi nalarnya. Dengan cara itu matematika didekatkan pada siswa, sehingga siswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari adalah untuk menyelesaikan masalah kehidupan.

Jadi yang terpenting bukanlah apakah siswa memahami rumusnya atau tidak, tetapi bagaimana dengan matematika mereka dapat berpikir kritis, sistematis, dan juga kreatif. Hal yang paling penting bukan bagaimana siswa dapat menghitung luasan segitiga sedetail mungkin dengan sepuluh angka di belakang koma –tolong, itu pekerjaan komputer! Bagaimana dengan matematika siswa terakselerasi kemampuan berpikirnya, mampu menganalisis masalah yang terjadi di sekitarnya dan menjadi pemecah masalah; itu yang seharusnya diutamakan.

Koko Martono, dosen mata kuliah kalkulus ITB yang inspiratif :) sering berujar bahwa matematika --he said calculus, exactly-- adalah sekolah berpikir. “Matematika adalah alat untuk membuat orang menjadi cerdas,” tambahnya. Tetapi jika mengenang masa-masa sekolah dahulu, bisakah kita menjadi lebih cerdas? Ketika siswa hanya ditekankan untuk menghapal rumus ABC, trigonometri, dan belajar menjadi kalkulator, bukankah outputnya hanya seonggok robot?

Ah, mungkin sudah saatnya semua siswa di Indonesia diajarkan Matematika Nalaria Realistik :p Cekkpmseikhlasnya.com jika ingin tahu ya :)

Menyoroti pendidikan bahasa
Lagi-lagi teori. Wajar rasanya apabila bosan mendera saat mempelajari Bahasa Indonesia. Bagaimana tidak? Materinya sama dari tiap jenjang: menghapal majas, belajar ejaan, diajarkan teori menulis surat, belajar jenis-jenis teks.

Hasilnya? Studi kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Tahun 2009 Program for International Student Assessment (PISA) menilai kemampuan membaca, kemampuan matematika, dan kemampuan iptek (www.pisa.oecd.org). Laporan ini juga mengindikasikan kemampuan sumber daya manusia suatu negara dalam bersaing di dunia internasional. Secara keseluruhan, posisi Indonesia berada pada peringkat 57 dari 65 negara. Dalam kemampuan membaca, skor Indonesia adalah 402, sementara skor tertinggi diraih Kota Shanghai, China. Rata-rata skor kemampuan membaca adalah 500. Kita masih jauh di bawah rata-rata!

Siswa tidak didorong untuk membaca, tidak pula dididik untuk terbiasa menulis. Kemampuan bahasa, seperti yang sama-sama kita ketahui adalah hasil dari proses pembiasaan. Wajar jika hasilnya tak keruan jika kita tidak dibiasakan sejak dini. Padahal membaca dan menulis adalah poros kemajuan suatu bangsa!

Jadi ingat tulisan yang terpampang di masa SMA dulu. Saya lupa redaksinya, intinya “budaya membaca”. Dulu para siswa terbiasa membaca 1 minggu 1 buku. Kini? Ah, sedihnya!

Turun desa yang lagi untuk semua
Ah, sedih (lagi) rasanya ketika kegiatan turun desa di SMAN 1 Bogor hanya menjadi milik siswa kelas IPS saja. *Sejarahnya saya update belakangan ya, lagi dicari tahu.* Padahal ini adalah salah satu ruang bagi siswa untuk terjun langsung, membaca keadaan masyarakat, menganalisis masalah yang ada, mencoba memformulasikan solusinya, juga mengasah kepekaan sosial. Siswa perlu mengasah kemampuan untuk menjadi kaum terdidik yang ada di tengah masyarakat. Nyatanya, kini kesempatan itu sangatlah sempit.

Berbusa menghapal teori ilmu sosial
Kenapa siswa perlu belajar ilmu sosial? Tentu jawabannya agar ia cakap dalam memangku peran di masyarakat. Ilmu sosial tidak ada gunanya jika hanya dipelajari teorinya. Itu semua perlu praktik.
Nilai dan norma ujung-ujungnya hanya menjadi omong kosong. Percuma berbusa-busa menghapal teori ekonomi jika ujung-ujungnya korupsi. Percuma berbusa-busa bicara teori sosiologi jika hanya jadi orang pongah yang tak mampu bergaul dengan berbagai kalangan.

Kini nilai dan norma hanya dijadikan wacana. Kita tahu tapi tidak mengaplikasikannya. Bisa jadi itu dampak dari pembelajaran yang hanya menjadikan guru sebagai pengajar semata, bukan pendidik yang memastikan nilai dan norma ada pada tiap anak didiknya.

Jika kita tarik kesimpulannya…
Masalahnya, selama ini kita dididik untuk menjadi robot, menerima kode biner yang tak tertangkap oleh nurani. Kita tidak dikembangkan untuk menjadi sosok yang berkompetensi unggul dan cakap menghadapi masa depan. Kita tidak dididik untuk menjadi anak bangsa yang memang punya tanggung jawab terhadap kemajuan bangsanya. Ah, seperti kata Rendra: lantas apakah artinya pendidikan?

Kurikulum 2013: Pendidikan Berkarakter?
Katanya kurikulum 2013 menitikberatkan pada pendidikan karakter, mampukah terwujud? Mari kita bahas di lain kesempatan! :D

--------------------------------------

Referensi
Sapa’at, Asep. 2012. STOP Menjadi GURU!. Jakarta: PT Tangga Pustaka
http://perpustakaan.probolinggokab.go.id/site/berita-115-indonesia-peringkat-ke-57-dari-65-negara-dalam-kemampuan-membaca.html
http://jambiupdate.com/artikel-pentingnya-pendidikan-karakter.html


You Might Also Like

2 comments

  1. nih anak bahasannya berat mulu...

    ReplyDelete
  2. Sebenernya engga kok is :) ini kan apa yang kita alami sehari-hari

    ReplyDelete

ayo komen disini :)

Popular Posts