Diary #2: Bincang Malam

8:43 PM

16-02-2015
Malam Sedap Malam
Tiga pasang mata saling memandang. Dua di antaranya adalah milik saya. Dua pasang mata lainnya adalah milik kakak-kakak yang pernah mengemban jabatan yang sama dengan saya di Pers Mahasiswa. Perbincangan malam itu santai, tapi cukup berisi. Topiknya tak jauh dari perbincangan mahasiswa ITB masa kini: KM-ITB.

Gagalnya Pemira KM-ITB untuk menghasilkan 2 calon yang siap untuk memimpin kampus membuat isu ini semakin menguat: bubarkan KM-ITB. Klausa terakhir memang menuai pro dan kontra. Sebenarnya pernyataan tersebut mengarah ke satu hal, bahwa ada yang salah di kampus ini dan harus kita perbaiki bersama. Beberapa orang mengambil kesimpulan yang cukup revolusioner –Bubarkan saja, kita buat sistem yang baru. Sebagian lagi berniat mengambil keputusan yang reformis –Ubah sistem sedikit demi sedikit, kita perbaiki apa yang kurang. Ada pula yang memandang bahwa sistem ini sudah ideal dan tidak perlu diubah. Menurut mereka, kita hanya perlu mengubah subjek yang menjalankan sistemnya agar sistem ini dapat berjalan secara optimal. (Perbincangan panjang mengenai hal ini akan ditulis dalam Diary 3)

Malam itu kami mencoba mengurai, di mana letak kesalahannya. Pada akhirnya kami tak sampai pada kesimpulan yang mampu melahirkan solusi. Tapi ada kekhawatiran yang semakin nyata terasa, tentang nilai-nilai yang semakin luntur dari kemahasiswaan.

Ceramah Husein Sang Bapak Media
“Saat ini mulai bermunculan click activism.”
Dua orang mengernyitkan dahi mendengar istilah asing tersebut. Maksudnya adalah ketika tindakan yang terjadi di dunia maya menjadi sebuah gerakan yang terasa amat bernilai. Seperti halnya ketika kita sudah merasa berjasa saat memencet tombol ‘Like’ di Facebook mengenai suatu isu. Sama halnya seperti perasaan berjasa saat kita menekan tombol ‘Retweet’ ketika ada berita banjir di suatu daerah. Dengan bermodalkan satu kali klik, jadilah kamu seorang aktivis.

“Nah, selain click activisim mulai dikenal juga keyboard warrior.”
 Istilah kedua ini malah membuat saya senyam-senyum sendiri karena namanya yang lucu. Tak jauh berbeda, perkembangan teknologi membuat orang sudah merasa terlibat dalam realita padahal ia hanya menghadirkan hal tersebut dalam dunia maya. Hal ini terjadi ketika kita menonton berita mengenai jatuhnya pesawat AirAsia dan kita menyebarkan bela sungkawa melalui media jejaring sosial. Saat itu dengan bermodalkan keyboard kita merasa sudah ikut berkontribusi dalam menyelesaikan masalah. Namun sesungguhnya kita tidak sedang mengubah realita apa pun.

Generasi kita yang sudah terjangkiti click activism dan menjadi keyboard warrior ini pada akhirnya menjadi semakin jauh dari realita. Padahal sungguh tidaklah sama mereka yang memandang matahari dari layar kaca dengan mereka yang berpeluh di bawah terik matahari. Sungguh tidaklah sama mereka yang bercerita tentang lumpur dengan mereka yang bermandi lumpur. Sungguh tidaklah sama mereka yang duduk diam dengan mereka yang berjuang dengan seluruh jiwa raga, atau bahkan mungkin hartanya.

Nilai pengorbanan dan semangat juang macam itu yang rasanya mulai hilang dari diri kita. Saya jadi merenung kembali malam itu. Apakah saya juga demikian? Apakah kita semua mulai menjadi seperti itu?

19-02-2015
4 jam meminjam McD
Saya memulai perbincangan lain di Simpang Dago bersama salah seorang kabid di himpunan yang bertanggung jawab atas perwujudan karya IMA-G, Fadhil namanya. Sejak pukul 10 malam kami memulai dari mengkaji berbagai isu yang kami rasa penting untuk diselesaikan, hingga membahas metode-metode apa saja yang mungkin kami wujudkan.

Perbincangan di McD saya rasa berhasil menyatukan kembali mimpi-mimpi kami, bahwa organisasi mahasiswa tak layak hanya menghasilkan event. Organisasi mahasiswa juga tidak layak untuk tampil hanya menunjukkan ego, tentang siapa yang paling hebat idenya, siapa yang paling besar namanya. Ada peran yang harus disadari kembali sebagai seorang calon sarjana: yang harus cakap dalam keilmuannya, punya keinsafan tanggung jawab, dan juga cakap memangku jabatan di masyarakat.

Kami rasa perwujudan hal itu harus dimulai dari saat ini. Sudah terlalu banyak orang berharap kita mampu melahirkan solusi. Namun pada akhirnya kebanyakan dari kita lebih memilih berdiam di zona nyaman, atau mencoba unjuk gigi namun malah memberi solusi yang tak tepat sasaran. Malah terkadang kita menawarkan aksi yang tak menyelesaikan masalah, menghabiskan jutaan atau bahkan ratusan rupiah hanya untuk momentum tahunan yang entah berdampak apa bagi bangsa ini.

Tahun ini saatnya kita membuka mata. Tahun ini saatnya kita bergerak bersama. Tahun ini saatnya kita berkarya nyata. Semoga semangatnya sama, ya, massa-G. Bahwa kita akan merasakan manisnya hidup, setalah lelah berjuang memberi yang terbaik bagi bangsa ini.

Pukulan telak
 “Aku yang biasa tinggal di permukaan bumi cukup kaget dengan kondisi di kahyangan. Ternyata segala bentuk pendefinisian tentang pergerakan mahasiswa sangat berbeda jika dibandingkan dengan yang pernah kualami sejauh ini. Apa mungkin karena terlalu nyaman tinggal di kahyangan, para dewa melupakan jutaan rakyat Indonesia yang menggantungkan mimpinya ke pundak mereka?

Kekritisan yang timbul hanya di tataran teknis, bukan ide-ide ideologis selayaknya anggapan 'kalianlah para dewa' yang disematkan penduduk jelata. Mereka sibuk menghabiskan waktu dengan debat-debat dalam forum tentang kemahasiswaan yang ideal, apakah mereka tidak sadar di luar sana ada rakyat melarat sedang mendongeng tentang 'kehebatan' diri mereka, entahlah.”

Sebuah tulisan dari Kurnia Sandi Girsang, FTI 2013 cukup menampar saya di dini hari setelah malam McD. Semoga perbincangan tentang negeri kahyangan ini tidak berlarut-larut. Ah, sungguh terlalu banyak PR kita yang harus diselesaikan.

Yuk, ah, semangat!
Melihat jalan ke depan, tentu ada banyak hal yang harus kita selesaikan. Mungkin lelah, tapi pasti seru; karena kita akan menjalaninya bersama. And of course, since we are young, we’ve gotta do it in the coolest way! 

You Might Also Like

0 comments

ayo komen disini :)

Popular Posts