Menggubah Aktivisme 2.0
7:48 AM
Setahun
ke belakang, banyak yang bertanya: ke mana kah mahasiswa? Banyak yang
menganggap hari ini mahasiswa tak lagi bertaji. Kebanyakan dari mereka terjerat
oleh setumpuk SKS, tertimpa beban UKT, tertelan budaya hedonisme dan
konsumerisme, terasingkan dari identitas dan peran mereka yang sesungguhnya. Gerakan
mahasiswa tak lagi dinilai membela kepentingan rakyat Indonesia, tapi menjadi
sebuah panggung mahasiswa dengan label event
organizer.
Menyalahkan
teknologi memang tak bijak, tapi berbagai kemudaan hari ini ternyata
menghasilkan manusia jenis baru: keyboard
warrior. Perkembangan teknologi membuat orang sudah merasa terlibat dalam
realita padahal ia hanya menghadirkan hal tersebut dalam dunia maya. Hal ini
terjadi ketika kita menonton berita mengenai jatuhnya pesawat AirAsia dan kita
menyebarkan bela sungkawa melalui media jejaring sosial. Saat itu dengan
bermodalkan keyboard kita merasa sudah ikut berkontribusi dalam menyelesaikan
masalah. Namun sesungguhnya kita tidak sedang mengubah realita apa pun.
Aktivisme
hari ini pun mulai bergeser. Kita mulai mengenal istilah click activism. Maksudnya adalah ketika tindakan yang terjadi di
dunia maya menjadi sebuah gerakan yang terasa amat bernilai. Seperti halnya
ketika kita sudah merasa berjasa saat memencet tombol ‘Like’ di Facebook
mengenai suatu isu. Sama halnya seperti perasaan berjasa saat kita menekan
tombol ‘Retweet’ ketika ada berita banjir di suatu daerah. Dengan bermodalkan
sebuah klik, jadilah kamu seorang aktivis.
Generasi
kita yang sudah terjangkiti click
activism dan menjadi keyboard warrior
ini pada akhirnya menjadi semakin jauh dari realita. Padahal sungguh tidaklah
sama mereka yang memandang matahari dari layar kaca dengan mereka yang berpeluh
di bawah terik matahari. Sungguh tidaklah sama mereka yang bercerita tentang
lumpur dengan mereka yang bermandi lumpur. Sungguh tidaklah sama mereka yang
duduk diam dengan mereka yang berjuang dengan seluruh jiwa raga, atau bahkan
mungkin hartanya.
Kemudian kita terjebak dalam kegelisahan semu karena kita tak lagi terjun
langsung ke masyarakat. Mahasiswa berkata bahwa mereka membela rakyat padahal
rakyat tidak merasa demikian. Pada akhirnya gerakan mahasiswa tak lagi punya
nilai. Reasoning yang lemah menghasilkan positioning yang lemah pula.
Lebih parahnya lagi,
kita gagal mendefinisikan dua hal: siapa kita dan apa peran kita?
Berkaca
pada Sejarah
Mengenang
romantisme masa lalu memanglah manis. Membaca sejarah gerakan mahasiswa akan
menghadirkan suasana heroik yang seringkali memunculkan keinginan untuk kembali
mewujudkannya. Reformasi di tahun 1998 agaknya selalu menjadi imaji yang
membayangi gerakan hari ini. Kita terjebak dalam pola itu, yang bisa jadi masih
efektif, namun optimasinya belum dapat dibuktikan dalam gerakan mahasiswa
dewasa ini. Sampai saat ini kita belum lagi mampu untuk bisa memobilisasi massa
hingga mencapai angka puluhan ribu.
Pada
dasarnya apa yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah bahwa pemuda, apalagi
mahasiswa akan selalu punya bargaining
position. Masyarakat pada umumnya masih percaya bahwa mahasiswa tidak punya
kepentingan terselubung dan pemerintah pun memahami hal ini.
People power
adalah kunci yang lain. Bagaimana dulu mahasiswa mampu memobilisasi orang dalam
jumlah yang besar dan menunjukkan bahwa rakyat telah memiliki satu suara adalah
poin penting lainnya yang bisa kita pelajari. Kita tak bisa mentah-mentah
menerjemahkan bahwa hari ini kita harus melakukan dengan pola gerakan yang
sama. Pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memastikan bahwa
kita berhasil menginsepsi banyak orang untuk memiliki kesadaran yang sama.
Jaringan
yang baik juga menjadi modal gerakan yang baik. Kita harus menyadari bahwa
mahasiswa bukanlah satu-satunya elemen yang ada di dalam masyarakat. Oleh
karena itu kemampuan untuk berjejaring dengan berbagai elemen menjadi poin yang
penting.
Saya
meyakini bahwa tidak ada yang harus berubah dari nilai yang kita pegang. Dari
dulu hingga sekarang kita memang harus senantiasa membela kepentingan rakyat.
Dari dulu hingga sekarang advokasi kebijakan publik, apapun metodenya, akan
selalu menjadi tanggung jawab mahasiswa. Dari dulu hingga sekarang,menjadi insan
akademis adalah tuntuntan bagi seorang mahasiswa.
Namun
kita tak bisa menutup mata bahwa hari ini kita dikelilingi oleh lingkungan yang
berbeda dari kakak-kakak kita; mereka yang merasakan pahitnya dikekang orde
baru. Diri kita sendiri pun adalah generasi yang tak mengerti beratnya
perjuangan untuk mencapai reformasi. Mahasiswa hari ini tidak bisa menghargai
demokrasi karena kita adalah generasi democracy-native,
sebagaimana sebagian besar dari kita dilahirkan sebagai generasi digital-native. Kita dikelilingi oleh
generasi yang bersikap take it for
granted untuk semua hal. Kita dikepung oleh kelas menengah, orang-orang
yang tidak akan tergerak sebelum kepentingan pribadinya terusik. Dan bisa jadi
kita adalah salah seorang di antara mereka.
Maka,
memahami kembali ke mana kita menuju serta menghitung ulang modal yang kita
miliki adalah sebuah langkah awal yang harus kita tempuh. Tentunya amatlah
dangkal apabila mahasiswa hari ini hanya memandang ke dalam dirinya sendiri.
Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan hanya bisa dihasilkan jika ada gaya
yang cukup besar. Gaya ini hanya bisa dihasilkan apabila kita mampu memusatkan
massa dalam jumlah yang besar dan juga akselerasi yang juga signifikan. Sebab
itulah aktivis hari ini tidak bisa mengekslusifkan dirinya tanpa berpikir
bagaimana caranya memarketisasi gerakan tanpa kehilangan core value dari gerakan tersebut. Aktivis hari ini harus paham
bagaimana caranya memanfaatkan karakteristik generasi-Z agar kita mampu
menghasilkan gerakan yang tetap ideologis, signifikan, dan orisinil.
Kita
juga tak bisa naïf dengan mengharapkan bahwa hanya dalam 3 hitungan Indonesia
lantas menjadi negara yang benar-benar makmur, adil, dan sejahtera. Apa yang
kita perjuangkan mungkin baru bisa terwujud beberapa tahun atau bahkan puluhan
tahun mendatang. Oleh karena itu konsistensi dalam gerakan adalah poin yang
penting, termasuk konsistensi kita untuk bisa mendidik generasi berikutnya
untuk memperjuangkan hal yang sama.
Terakhir,
untukmu. Iya, kamu. Mereka yang tak bergerak akan tergerus oleh pergerakan
arus. Pilihannya hanya ada 2: bergerak atau tergantikan. Selamat memilih,
karena sejarah tak pernah mencatat mereka yang hanya duduk diam dan tak
berbuat.
Referensi:
Sekolah Pergerakan BSLF Pertemuan 1
Bincang Malam Sedap Malam
0 comments
ayo komen disini :)