Rumah A

9:21 AM

Dok. Prov. Jabar
Rumah A adalah sebuah rumah tepat di seberang ITB. Terletak di Jalan Ganesha no.15 C, rumah ini telah dibangun sejak zaman Belanda. Di depan rumah ini, sebuah diskusi menarik
“Bagaimana sih cara menganalisis bangunan?” tanya seorang pria kepada pemuda di depannya. Ia adalah dosen pembimbing dari kedelapan pasang mata yang menatapnya.
Karena tidak ada jawaban, ia lantas melanjutkan, “Jika kita menganalisis sesuatu yang besar, bagilah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Lalu kita lihat ciri khasnya apa.”
Sang dosen kemudian bersandar pada pagar rumah seraya bertanya kembali, “Berapa tinggi pagar ini?” Mahasiswa-mahasiswa bimbingannya menebak. Mulai dari 70 cm, 80 cm, dan 90 cm. Ketika meteran menunjukkan  angka 82 cm beberapa mengucap ‘Yes!’ dengan penuh semangat.
“Pasti ada alasan kenapa pagar ini didesain setinggi ini –agar bisa bersandar, agar orang bisa duduk dengan nyaman,” dosen itu melanjutkan lagi.
Setelahnya ada banyak objek yang terus didiskusikan. Mulai dari bagian atas pagar yang berbentuk melengkung agar air hujan tidak menggenang dan merusak pagar tembok; Kepala pagar tembok yang menjorok keluar agar tetesan air tidak menuruni tembok tetapi langsung jatuh ke lantai; Pagar tembok yang desainnya berlubang agar angin bisa masuk saat duduk santai di teras; Dinding yang dilapisi batu karena material tersebut tahan air, terlebih ketika hujan dinding tidak mejadi kotor akibat cipratan karena mudah dibersihkan; Jendela dibuat dua lapis agar penghuni bisa bagian mana yang harus dibuka apakah yang menghalangi udara atau cahaya; sampai dinding yang dibuat tebal agar bisa menahan beban atap. Semua diskusi itu berpola sama, diawali dengan pertanyaan sang dosen yang diikuti berbagai jawaban para anak didiknya dan kemudian ia akan menyimpulkan jawabannya. Seperti kata Asep Sapa'at dalam bukunya "Stop! Menjadi Guru", mendidik adalah proses bertanya.
Setiap desain pasti memiliki fungsi. Pesan itu juga ia sampaikan kepada anak didiknya.
“Sebagai seorang arsitek, salah satu proses belajar yang bisa dilakukan adalah dengan melihat.” Ia melanjutkan dengan menyebutkan bahwa dalam arsitektur seringkali yang dibutuhkan adalah descriptive knowledge, selain procedural knowledge dan tacit knowledge.
Pengalaman ruang adalah sesuatu yang penting. “Itu juga yang menyebabkan kita harus sering jalan-jalan.” Menurut bapak dosen itu, ketika kita mau mendesain SD yang bagus, minimal kita pernah merasakan SD atau berkunjung ke SD yang desainnya bagus. Ketika kita mau merancang hotel berbintang tiga, minimal kita pernah menginap di hotel berbintang tiga.
“Kita harus belajar banyak dari preseden, bangunan yang sudah ada dan bisa dicontoh.”
Itulah pelajaran studio saya pada hari Rabu, 28 Agustus 2013. Saya mulai memandang ruang dengan perspektif yang baru. Saya mulai menyadari bahwa hasil rancangan bisa saya hayati dan saya interpretasi maknanya dan dengan cara itulah arsitektur dapat dinikmati sebagai sebuah hiburan. Melalui tugas pengukuran yang diberikan, ada banyak hal yang saya lihat, saya raba, dan saya pahami.
Sketsa Hasil Pengukuran






You Might Also Like

2 comments

  1. Semangat, Atika. cie, postingannya udah calon arsitektur banget nih~

    ReplyDelete
  2. Wah, gambarnya Itiki makin bagus nih, hehehe....
    Kembangkan lagi gan! :D

    http://filosofikecap.student.ipb.ac.id/

    ReplyDelete

ayo komen disini :)

Popular Posts